Ia5K33hce05kVEU1UP8J8DLa01dvV8DSgOffubpV
Bookmark

Stimulasi dan Perkembangan Emosi Anak Usia Dini

Jangan nangis! Malu dilihat orang itu, lo!"

Siapa yang saat kecil sering mendengar kalimat tersebut saat sedang menangis? Atau jangan-jangan secara tidak sadar juga sering bersikap seperti itu ke anak? Nggak usah malu untuk mengakui karena aku pribadi pun sering mendengar kalimat itu dari orang tua dan pernah juga secara tidak sadar mengatakan itu ke anakku.

Emosi anak usia dini

Dampak dari kata-kata pamungkas yang dikeluarkan orang tua agar anaknya berhenti menangis itu ternyata sangat luar biasa. Aku pribadi akhirnya tumbuh jadi anak yang sangat suka memendam emosi. Bahkan, hal ini juga berimbas ke komunikasi dalam kehidupan rumah tangga. Aku sering kesulitan mengungkapkan apa yang aku rasakan saat sedih atau marah kepada suami.

Namun, aku tak pernah menyalahkan orang tuaku karena ilmu parenting di zaman itu tentunya masih sangat minim. Justru dari situ aku belajar untuk bisa mengungkapkan emosi dan lebih terbuka kepada suami. Kadang, aku harus mengungkapkan emosi lewat tulisan agar apa yang aku rasakan bisa tersampaikan ke suami. Selain itu, aku juga ingin memperbaiki pola pengasuhan agar apa yang terjadi di dalam diriku tak terulang ke anak.


Pentingnya Mengenalkan Emosi Anak Sejak Dini

Kalau nggak bisa ngomong sebabnya, coba tulis di kertas apa yang dirasakan, nanti tunjukkan ke aku," begitu kata suami ketika menghadapiku yang begitu kesulitan mengungkapkan emosi. Alhasil, aku berhasil mendeskripsikan apa yang aku rasakan ke dalam selembar kertas.

Entah kenapa saat itu mulutku selalu otomatis terkunci rapat setiap kali berusaha untuk menceritakan apa yang aku rasakan. Padahal, kepalaku sudah penuh dengan ledakan kata-kata. Sekalipun aku berhasil untuk bicara, yang ada malah keluar tangisan yang menyesakkan dada.

Berdasarkan penelitian Karnilowicsz dkk. (2019), apa yang terjadi padaku merupakan bentuk dari penurunan mood positif, daya tanggap, dan kehangatan dalam jiwa. Seperti itulah kira-kira salah satu dampak ketika sejak kecil anak dilarang untuk melampiaskan emosi negatif dan tidak diberi arahan bagaimana cara mengontrol emosi. Oleh karena itu, penting sekali mengenalkan emosi anak sejak dini agar anak tak terkena dampak secara psikologis saat dewasa nanti.

Karakter Anak Usia Dini (1-5 Tahun)

Secara umum, anak usia dini memiliki karakteristik tertentu yang harus diperhatikan orang tua (Hartati, 2005). Hal ini sebagai bekal pertama untuk memberikan stimulasi pada perkembangan emosi anak. Beberapa karakteristik anak usia dini yang biasanya menonjol adalah sebagai berikut:

Unik: tiap anak berbeda satu sama lain, jadi jangan pernah membandingkan anak.

Imajinatif: dunia anak dipenuhi dengan hal yang sifatnya fantasi atau khayalan.

Egosentris: anak melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya sendiri.

Ingin tahu: anak usia dini sangat antusias dengan hal baru, tapi rentang fokusnya pendek.

Aktif: anak usia dini biasanya selalu aktif, tapi berbeda dengan anak hiperaktif.

Eksploratif: senang menjelajah atau mencoba hal baru yang menurut mereka menarik.

Spontan: anak masih belum bisa mempertimbangkan akibat dari perbuatannya.

Ekspresi Emosi

Setelah mengenal karakter anak usia dini, sebagai orang tua juga perlu memahami ekspresi emosi. Ekspresi emosi merupakan bentuk usaha yang dilakukan seseorang untuk menyampaikan atau menunjukkan keadaan perasaan (emosi) sebagai respon terhadap situasi tertentu (Hasbi dkk., 2020). Beberapa jenis ekspresi emosi yang sering muncul pada anak-anak adalah:

Ekspresi senang adalah ekspresi yang muncul ketika anak mendapat kebahagiaan

Ekspresi takut merupakan ekspresi yang disebabkan oleh suatu tekanan atau ancaman. Biasanya anak hanya mempunyai kesempatan yang sedikit untuk menyesuaikan diri dengan situasi tersebut.

Ekspresi marah adalah ekspresi yang sering ditunjukkan pada masa anak-anak, sebab anak secara alami tahu bahwa kemarahan dapat memenuhi keinginan atau perhatian yang mereka harapkan.

Ekspresi sedih merupakan emosi negatif yang ditandai dengan perasaan kecewa, putus asa, tidak tertarik, dan suasana hati buruk. 

Ekspresi cemburu merupakan reaksi normal terhadap ancaman kehilangan kasih sayang. Hal ini disebabkan kemarahan yang menimbulkan sikap jengkel dan ditujukan kepada orang lain.

Ekspresi kaget atau terkejut dapat dikategorikan sebagai emosi positif, emosi negatif, dan juga netral. Kondisi ini biasanya terjadi sangat singkat akibat hal tidak terduga.

Manfaat Mengenalkan Emosi Sejak Dini

Mengenalkan emosi dan ekspresi yang menyertainya kepada anak sejak dini ternyata memiliki banyak manfaat. Terutama untuk sisi psikologis dan kecerdasan anak. Berikut beberapa manfaat mengenalkan emosi sejak dini, dirangkum dari beberapa sumber (Martani, 2012; Santrock, 2006):

  • Anak dapat memusatkan perhatian, dan emosi memberikan daya bagi tubuh serta mengorganisasi pikiran untuk disesuaikan dengan kebutuhan.
  • Emosi membantu anak sepanjang waktu untuk bertahan dan berkomunikasi dengan lingkungan. Contohnya saat ekspresi emosi takut muncul, maka anak akan lebih sadar atau peka terhadap situasi lingkungan dan lebih hati-hati.
  • Pengelolaan emosi dapat membantu anak untuk menyeimbangkan emosi agar dapat tersampaikan dengan cara tepat. Pengelolaan emosi yang baik juga salah satu aspek dari kecerdasan emosional anak (EQ).


Peran Orang Tua dalam Stimulasi Perkembangan Emosi Anak

Orang tua merupakan kunci utama untuk stimulasi perkembangan emosi anak, sebab harusnya orang tua adalah orang yang paling dekat dengan anak. Selain itu, orang tua dapat membantu anak untuk berlatih mengelola emosinya dengan menjadi panutan, motivator, cermin anak, dan fasilitator (Karisma dkk., 2020).

Panutan

Peran orang tua yang cukup efektif untuk stimulasi perkembangan emosi adalah dengan menjadikan dirinya sebagai panutan bagi anak. Dengan kata lain, orang tua harus menunjukkan sikap wajar dalam mengelola setiap perasaan emosi yang dirasakan, sebab anak akan mengikuti apa yang orang tua contohkan (Santrock, 2006).

Misalnya saat aku marah, aku berusaha untuk tidak membanting barang atau berteriak. Biasanya aku akan mengatakan apa yang aku rasakan ke anak,“Bunda, marah, lo, ya!”. Setelah itu, aku akan menarik nafas dan mengembuskannya perlahan beberapa kali.

Motivator

Orang tua merupakan motivator ulung bagi anak-anak mereka. Di usia dini, anak membutuhkan dorongan motivasi dari orang tua untuk berani mengekspresikan emosi yang mereka rasakan.

Cermin Komunikasi

Cermin yang dimaksud dalam konteks stimulasi perkembangan emosi anak adalah bentuk dari komunikasi dua arah antara orang tua dan anak. Orang tua dapat membangun komunikasi yang terbuka dengan anak melalui diskusi, sehingga apa yang dirasakan anak bisa tertangkap jelas.

Fasilitator

Proses stimulasi perkembangan emosi anak tentunya tak lepas dari kehadiran orang tua sebagai fasilitator utama. Orangtua bisa membentuk kegiatan yang dapat merangsang anak untuk mengenal emosi dan mengelolanya.


Perkembangan Emosi Anak Usia Dini

Aku ingat pernah menuliskan cerita tentang ekspresi emosi takut anakku saat melihat bayangan. Kira-kira saat si kecil berusia 20 bulan, dia pernah secara tiba-tiba mematung ke suatu titik tertentu di area rumah. Tak lama kemudian, ia langsung lari ke arahku sambil menangis, dan minta digendong.

Sebagai ibu dengan pengalaman pertama punya anak, tentunya aku sedikit panik. Setelah aku coba validasi perasaan pelan-pelan, ternyata dia sedang ketakutan melihat sesuatu. 

Anak pada rentang usia seperti si kecil saat itu memang hanya bisa menunjukkan gestur atau ekspresi untuk mengungkapkan emosi mereka. Di sini anakku menunjukkan gestur mematung, lantas lari mencari perlindungan orang yang mereka percaya. Perkembangan emosi tiap tingkat usia anak berbeda-beda, maka orang tua sepertiku harus paham dan peka dengan karakteristik perkembangan emosi yang ditunjukkan anak.

Anak Usia 1-2 Tahun

Salah satu kecerdasan emosional anak usia 1 – 2 tahun adalah sering menangis saat ditinggal oleh orang tua atau saat sedang ketakutan. Tidak hanya itu, anak juga sudah menunjukkan rasa percaya diri dengan kemampuan barunya seperti saat berdiri, berjalan, atau berbicara.

Anak Usia 2-3 Tahun

Anak di usia 2-3 tahun cenderung mengekspresikan emosinya dengan bebas dan terbuka. Di usia ini, ekspresi emosi marah akan sering diperlihatkan oleh anak jika tak mendapat apa yang diinginkan atau sering disebut sebagai tantrum.

Anak Usia 3-4 Tahun

Pada usia ini, anak perlahan mulai mengenali emosinya. Misalnya saat anak melihat sesuatu yang lucu, ia akan tertawa riang. Sebaliknya saat ada sesuatu yang membuatnya marah, anak akan berteriak atau menangis.

Anak Usia 4-5 Tahun

Perkembangan sosial emosional anak usia 4-5 tahun (Suryadi, 2010), yaitu mulai bisa bermain secara kelompok, bisa antre menunggu giliran bermain, mampu menaati aturan bermain, mulai muncul rasa khawatir terhadap suatu bahaya, suka menirukan tokoh idolanya, dan lain-lain.


Caraku Stimulasi Perkembangan Emosi Si Kecil

Mayah, Sabil mayah! (Marah, Sabil marah!)” Si kecil berteriak dengan aksen cadel, lantas berguling di lantai sambil menangis keras. Setelah melampiaskan emosi marahnya karena tidak mendapat mainan yang dia inginkan, ia pun berdiri sendiri, dan minta digendong."

Seperti itulah drama kehidupanku bersama si kecil saat dia tantrum. Si kecil masuk dalam anak rentang usia 2-3 tahun. Awalnya dia sering tantrum dengan ending menangis tanpa tahu apa yang sebenarnya ia rasakan. Setelah aku berikan stimulasi pengenalan ekspresi emosi, perlahan dia mulai paham kalau sedang marah.

Ternyata, pemberian stimulasi itu sangat berpengaruh terhadap perkembangan emosi anak. Memang hasilnya tidak instan, apa yang aku ajarkan tidak langsung masuk. Namun, ketika otak anak sudah merekam polanya, di masa depan ia akan memberikan respon yang tepat. Beberapa cara yang aku lakukan untuk menstimulasi perkembangan emosi si kecil adalah sebagai berikut.

Validasi Perasaan

Stimulasi mengenal emosi anak aku mulai sejak dini dengan validasi perasaan saat si kecil marah, takut, atau senang. Kalau tidak salah mulai usia pertengahan 1 tahun. Cara validasi perasaan yang aku lakukan seperti ini:

  • Saat si kecil tantrum, aku akan berkata, "marah, ya? Oh, Sabil marah karena nggak dibelikan mainan? Nggak apa-apa, marah aja dulu, nangis dulu."
  • Saat si kecil tertawa karena suatu hal atau saat dibelikan mainan, aku akan berkata, "Sabil senang, ya? Mainannya bagus, Sabil senang?"
  • Saat si kecil mulai menunjukkan tanda-tanda takut, biasanya lari ke arahku sambil minta digendong, aku akan berkata, "Sabil takut? takut yang mana?"

Membaca Nyaring (Read Aloud)

Membaca dengan suara nyaring disertai ekspresi atau sering disebut read aloud ternyata memiliki manfaat dalam perkembangan emosional dan sosial anak. Membaca nyaring juga bisa membangun citra positif dalam diri anak dan mengurangi tingkah laku disruptif anak (Mendelsohn, 2018).

Contohnya saat aku pernah membacakan cerita Si Koksi, kumbang kecil yang rindu dengan ayahnya. Aku berusaha ekspresif saat menggambarkan emosi tokoh dalam cerita. Biasanya si kecil akan meniru atau jadi ikut larut dalam imajinasi emosi tokoh yang aku gambarkan. Entah itu ikut tertawa, merasa ketakutan, dan lain-lain.

Bermain Peran

Dunia anak sangat kental sekali dengan imajinasi. Apalagi saat anak berusia antara 2-4 tahun biasanya sudah punya tokoh idola super hero. Contohnya seperti anakku yang sedang suka dengan ultraman. Aku sering mengajaknya bermain peran atau role play menjadi tokoh idolanya.

Jalan cerita yang akan dipakai untuk role play mengenalkan emosi sederhana saja. Misalnya si Ultraman yang melawan monster. Si kecil berperan jadi Ultraman, sedangkan aku berperan jadi monster yang marah. Dari sini anak bisa mengenal emosi takut, marah, dan senang.

Bermain peran manfaatnya sangat bagus untuk anak usia dini. Selain untuk stimulasi perkembangan emosi, juga bisa untuk stimulasi bahasa anak.

Permainan Mengenal Emosi: Kartu Cilukba Emosi

Selain imajinatif, dunia anak usia dini juga masih kental dengan permainan. Otak akan lebih cepat merekam lewat permainan yang menyenangkan.Salah satu permainan yang aku gunakan untuk mengenalkan emosi anak adalah kartu Cilukba Emosi.

Cara buatnya mudah, hanya perlu lembaran kertas dan gambar lingkaran dengan ekspresi emosi. Saat bermain cukup buka kertas seperti bermain Ci Luk Ba, sambil ceritakan ekspresi emosi apa yang ada di balik kartu.


Anak Mengenal Emosi Sejak Dini untuk Masa Depan yang Lebih Baik

Memberikan stimulasi sejak dini kepada anak untuk mengenal emosi ternyata memiliki dampak positif bagi masa depan anak. Banyak penelitian yang mengungkap dampak negatif dari menekan emosi anak saat kecil. Contoh nyatanya ya aku yang kesulitan mengungkapkan apa yang aku rasakan dengan kata-kata.

Ketika anak mengenal emosinya, maka anak akan menjadi pribadi tangguh yang mampu mengontrol emosinya. Hal ini juga memiliki pengaruh terhadap kecerdasan emosi anak yang juga salah satu pembentuk kecerdasan anak secara keseluruhan.


Referensi

  • Hartati, Sofia. (2005). Perkembangan Belajar Anak Usia Dini. Jakarta: Direktorat Pembinaan AUD
  • Hasbi, dkk. (2020). Mengajarkan Anak Usia Dini Keterampilan Mengelola Emosi. Jakarta: Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Direktorat Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
  • Karisma, W.T., Prasetyawati, D., Karmila, M. (2020). Peran Orangtua Dalam Menstimulasi Pengelolaan Emosi Anak Usia Dini. PAUDIA. Vol. 9, 1, hal. 94-102.
  • Karnilowicz, Helena Rose & Waters, Sara & Mendes, Wendy. (2019). Not in Front of the Kids: Effects of Parental Suppression on Socialization Behaviors During Cooperative Parent-Child Interactions. Emotion. 19. 10.1037/emo0000527.
  • Martani Wisjnu. (2012). Metode Stimulasi dan Perkembangan Emosi Anak Usia Dini. Jurnal Psikologi. Vol. 39, 1, hal. 112-120.
  • Mendelsohn, A. L., Cates, C. B., Weisleder, A., Johnson, S. B., Seery, A. M., Canfield, C. F., ... & Dreyer, B. P. 2018. Reading aloud, play, and social-emotional development. Pediatrics, 141(5)
  • Santrock, J.W. (2006). Life Span Development. Boston: McGrawHill Co.Inc.
  • Suryadi (2010). Psikologi Belajar Paud : Pendidikan Anak Usia Dini. Yogyakarta PEDAGOGIA : Pustaka Insan Madani

21 komentar

21 komentar

Terimakasih sudah membaca sampai akhir :)
Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar.

Love,
Anggi
  • Listiorini Ajeng Purvashti
    Listiorini Ajeng Purvashti
    20 November 2022 pukul 12.45
    Bener ya, hal kaya gini tuh sepele tapi ngaruh banget ke pertumbuhan anak. Kadang aku juga ga bisa ungkapin emosi ku sendiri, lebih banyak mendam, tapi lama kelamaan aku coba untuk ungkapin aja, dalam bentuk tulisan, game, atau cuma sekedar ngegambar ga jelas
    Reply
  • Dewi Rieka
    Dewi Rieka
    14 November 2022 pukul 08.36
    Iya mempelajari emosi diri sendiri itu bagian dari perkembangan kita ya orangtua zaman dulu banyak yang tidak memahami dan kita sering diomongi nggak boleh nangis, nggak boleh marah akhirnya sulit mengungkapkan perasaan sampai kita dewasa pun sulit
    Reply
  • Dee_Arif
    Dee_Arif
    9 November 2022 pukul 10.58
    Mematikan tumbuh kembang anak itu penting ya mbak
    Tak hanya aspek fisik saja, tetapi juga aspek emosi
    Keduanya perlu di stimulasi
    Reply
  • Shafira Adlina
    Shafira Adlina
    9 November 2022 pukul 10.28
    Jangankan generasi baby boomers, seangkatan kita juga masih ada Mbak yang ngerasa kalau emosi marah sedih dan kesal adalah aib. Kita memang minim literasi emosi, semoga dengan tulisan ini juga semakin banyak yang paham dengan perkembangan emosi anak. Loveable muach
    Reply
  • Saraah Megha
    Saraah Megha
    9 November 2022 pukul 10.08
    waaa keren banget mbak, bisa kujadiin bahan observasi anak-anak juga ini mbak, karena emosi ini memang penting diajarkan
    Reply
  • hujan di jendela
    hujan di jendela
    9 November 2022 pukul 09.30
    Perkembangan emosi anak usia dini juga dipengaruhi sekali tentunya oleh lingkungan keluarga. Keluarga yang sering banget diam dan tanpa bicara akan membentuk anak menjadi pendiam itu memang nyata banget terjadi. Lain halnya dengan suasana rumah yang selalu ramai akan membentuk sang anak menjadi lebih banyak belajar bicara.
    Reply
  • Rizky Arya Lestari
    Rizky Arya Lestari
    9 November 2022 pukul 08.47
    orang tua sekarang memang harus selalu belajar. dan kita juga jangan memandang emosi salah satu cara yang sering saya lakukan ngobrol dengan diri
    Reply
  • Juwita
    Juwita
    9 November 2022 pukul 06.26
    Masya Allah sedang berjuang juga mengedukasi anak tentang emosi.. apalagi saat ini usia anak saya berdekatan 2, 5 dan 7 . Pekerjaan rumah saya saat ini
    Reply
  • Juwita
    Juwita
    9 November 2022 pukul 06.25
    Juga lagi ditahap menstimulasi anak-anak mengenal emosi dengan baik. mereka sedang beradaptasi dengan banyak hal.
    Reply
  • lendyagassi
    lendyagassi
    9 November 2022 pukul 01.37
    Ternyata aku tau sekarang mengapa aku juga cenderung memendam emosi, malah seringnya aku lupakan dengan cara apapun. Mungkin bisa jadi emosi yang gak keluar ini tersumbat dan pada titik tertentu ia akan meledak yaa..

    Melalui artikel ini, aku jadi tau salahku dimana dalam pengasuhan anakku. Semoga gak ada kata terlambat yaa..
    Karena sesungguhnya, aku sadar betul kalau mengalihkan emosi tanpa validasi ini aku turunkan kembali ke pangasuhan anak-anak. Sehingga mereka menjadi bingung terhadap emosi yang mereka rasakan.
    Reply
  • Okti Li
    Okti Li
    8 November 2022 pukul 21.04
    Meski sulit orang tua itu sejatinya menempatkan diri sebagai mana umumnya, teladan dan percontohan. Adapun perbedaan bukan juga untuk diperdebatkan. Sukses selalu ya semuanya...
    Reply
  • Dian Restu Agustina
    Dian Restu Agustina
    8 November 2022 pukul 19.30
    Iya ya saat kecil dulu sering dengar itu, "Kalau nangis dilihat orang tuh, maluuuu!" huhu
    Setuju jika ketika anak mengenal emosinya, maka anak akan menjadi pribadi tangguh yang mampu mengontrol emosinya. Maka perkembangan emosi anak perlu diperhatikan sejak dini
    Reply
  • Julia Pasca
    Julia Pasca
    8 November 2022 pukul 17.12
    Emosi anak, baik yang positif ataupun negatif, kita sebagai orang tua wajib memvalidasinya ya, Mbak. Biarkan anak mengeluarkan segala bentuk emosinya kepada kita, orang tuanya terutama. Mendengarkan sebelum berbicara apalagi mendikte terlebih dahulu
    Reply
  • Zeneth Thobarony
    Zeneth Thobarony
    8 November 2022 pukul 14.51
    Karena aku tumbuh menjadi pribadi defensif, menjadi pembelajaran banget supaya anakku ga menjadi defensif seperti aku. Emang sengaruh itu validasi perasaan, apalagi buat dia nyaman dan mau cerita apa yang bikin dia ga enak
    Reply
  • sylvianayy
    sylvianayy
    8 November 2022 pukul 11.00
    Buat calon emak emak harus banyak belajar dan baca tulisan semacam ini sih karena akan berguna banget untuk parenting
    Reply
  • Uniek Kaswarganti
    Uniek Kaswarganti
    8 November 2022 pukul 08.00
    Ternyata anak2 yang tidak tau ekspresi emosi yang dirasakan saat kecil rawan juga ya mengalami kebingungan di masa nantinya. Saat marah ataupun sedih, bingung untuk mengungkapkan apa yang dirasakan. Kayaknya ini terjadi juga padaku.
    Reply
  • Jejak Pena Oemy Ikbar
    Jejak Pena Oemy Ikbar
    7 November 2022 pukul 18.24
    MasyaAllah saya juga pernah seperti itu sama anak-anak. Ternyata efeknya enggak main-main ya. Itulah wajibnya mencari ilmu parenting bahkan dari sebelum punya anak ya harusnya. Biar snggak terlambat
    Reply
  • Han
    Han
    7 November 2022 pukul 16.17
    Jadi inget ini pentingnya stimulasi untuk emosi anak yaa mba. aku dulu termasuk yg "rajin" untuk read aloud, tapi semakin kesini semakin malas hahaha. apalagi kalau anakku minta nambah2 terus dan cerita belum selesai dia selalu motong dengan pertanyaan2 yang bikin salfok wkwkwkw duh anak2.. emang yah
    Reply
  • Nurul bukanbocahbiasa
    Nurul bukanbocahbiasa
    6 November 2022 pukul 20.29
    Klo mendidik anak d usia dini dilakukan dgn cara yg kliru, bakal berakibat fatal d masa mendatang

    Semogaaaaaa ortu jaman now makin bijak ya.
    Karena memang tugas ortu cukup berat.
    Reply
  • Me
    Me
    3 November 2022 pukul 08.46
    Orang tua jaman now harus cerdas memahami emosi anak supaya tahu bagaimana bersikap
    Reply
  • deamerina
    deamerina
    3 November 2022 pukul 07.33
    eh, sama sih aku juga, Mbak. sering banget nggak bisa ngomong dan malah nyesek nangis. gegara sering mendem juga kali ya? aku juga jadinya kalo lagi marah dan nggak bisa ngomongnya nulis surat. dan mama sempet nganggep itu aneh 😅
    ngendaliin emosi di hadapan anak kecil ini susah banget buatku. dan rada takut juga kebiasaan jelek yang aku lakuin pas marah ditiru sama adek
    Reply