Ia5K33hce05kVEU1UP8J8DLa01dvV8DSgOffubpV
Bookmark

Fenomena Parenting Sebagai Ajang Kompetisi, Penting Nggak Sih?

Moms, mau tanya anaknya mulai toilet training usia berapa, ya? Anakku udah 2 tahun, tapi masih belum mulai, nih. Ada saran, nggak?"

Parenting Ajang Kompetisi

Seorang ibu baru tengah bertanya di suatu grup parenting tentang permasalahan anaknya yang belum bisa untuk mulai toilet training. Sudah jelas dari pertanyaannya kalau dia butuh saran.

"Alhamdulillah kalau anakku udah lulus toilet training sejak usia 9 bulan," timpal ibu lainnya yang suka menjadikan parenting sebagai ajang kompetisi,"memangnya nggak dibiasakan dari kecil, ya, mom?"

"Oh, gitu, ya, mom? Anakku terlambat dong…" jawab Ibu baru itu sambil memasang emoticon sedih.

Eh, buset! Dia minta saran, woy, bukan minta dipamerin prestasi anakmu! Pake ngejudge lagi, huh!

Setidaknya itu kata-kata yang sedang berkecamuk di dalam benakku. Rasanya seperti meraung-raung, minta untuk segera dikeluarkan.

Kalau aku jadi admin, tentu aku akan langsung mengingatkannya dengan tegas. Sayangnya, aku bukan admin, hanya anggota grup biasa. Jadi, aku hanya bisa menimpali pertanyaan ibu baru itu dengan memberitahu rentang usia standar untuk mulai toilet training, yaitu antara 2-3 tahun.

Ibu baru itu pun sedikit lega karena ternyata putrinya ya masih termasuk dalam batas wajar. Sebab toilet training menurutku nggak cuma butuh kesiapan anak, ibunya pun juga harus siap terutama siap secara mental.


Ketika Parenting Sebagai Ajang Kompetisi, Tipe Ibu Nyebelin yang Suka Adu Prestasi Anak

Sejak saya masih kecil, sepertinya hampir seluruh ibu-ibu di Indonesia doyan sekali berkompetisi di bidang pengasuhan anak. Kalau nggak masalah tumbuh kembang anak, nilai di sekolah, ya, masalah pekerjaan atau gaji.

Sebenarnya kalau mau bangga dengan pencapaian dalam mengasuh anak, sih, wajar, ya. Hal yang menjadikan rasa bangga itu tidak sehat adalah ketika merasa lebih baik dari orang lain, lalu mulai membandingkan, bahkan merendahkan.

Ada beberapa tipe ibu nyebelin yang biasanya suka adu pencapaian dengan ibu lainnya dalam hal pencapaian dalam pengasuhan anak. Paling sering adalah kalimat sombong yang dibalut dengan kata "Alhamdulillah", perang akselerasi tumbuh kembang anak, dan adu nasib.

Sombong Berkedok Kata Syukur

Mungkin Buibuk yang lain juga pernah ya sekali atau beberapa kali menemukan oknum yang suka mengatakan, "Alhamdulillah, anakku tidak seperti itu. Usia segini sudah bisa begini-begitu."

"Wah, Aku sih, Alhamdulillah, ya, dulu anakku sih usia segitu udah bisa ini-itu. Pinter, deh!"

Sadar, nggak, sih? Kata-kata tersebut secara tidak langsung termasuk kata-kata sombong yang bisa menyakiti perasaan orang lain. Orang yang bertanya itu minta saran, bukan minta dipameri, Bun.

Bisa kan misal menjawab, "Aku punya saran, nih, Mom. Aku terapkan saat anakku masih kecil dan akhirnya berhasil. Bisa dicoba, siapa tahu cocok."

Ilmu parenting itu bukan sekadar tentang pencapaian milestone atau ajang pamer siapa yang parentingnya paling bagus. Parenting harusnya jadi ajang sharing sehat di antara orang tua, bukan?

Parenting sebagai ajang kompetisi

Perang Akselerasi Tumbuh Kembang Anak

Tipe kedua adalah ibu-ibu yang suka perang akselerasi dalam tumbuh kembang anak. Biasanya dimulai dengan kalimat begini, nih, "anaknya umur berapa? Udah bisa ngapain aja, Bun?"

Mulai nantangin, nih, ceritanya wkwkwk. Kalau ibu yang diajak ngobrol lempeng-lempeng aja paling cuma ditanggapi, "Alhamdulillah, yang penting sehat, Bun."

Masalahnya, kalau yang diajak ngobrol itu juga punya jiwa kompetitif yang tinggi. Hmmmm, biasanya bakal panjaaaaaang urusannya. Dia juga bakal menanggapi pertanyaan menantang itu dengan semangat juang 45, "anak saya usia 9 bulan udah bisa trekking, lo, Bun."

Nah, bisa ditebak sendiri alurnya seperti apa. Pasti bakal nggak habis-habis itu obrolan saling serang dengan membanggakan prestasi anaknya sampai lebaran tahun depan.

Adu Nasib Siapa Paling Berjuang dalam Mendidik Anak

Tipe terakhir ini mungkin bisa dibilang ibu yang punya vibes toxic positivity. Sering juga disebut tukang adu nasib. Jujur, dulu saya pernah juga jadi orang seperti ini. Alhamdulillah sekarang sudah sadar hahaha.

Nah, biasanya di grup WAG atau Telegram parenting pasti ada satu atau dua orang yang "sambat" tentang anaknya. Bagiku itu hal yang wajar selama sambatnya tidak berlebihan.

Akan tetapi, biasanya juga bakal ada satu atau dua ibu yang mulai adu nasib. Mereka akan membalas "sambatan" itu dengan membandingkan dengan dirinya yang lebih tangguh karena tidak sambat seperti temannya.

Misalnya gini, ibu A sambat tentang rumahnya yang selalu berantakan dan dimarahi suami. Lalu si ibu B akan menjawab, "halah, Bun, kamu kan baru satu anaknya. Saya aja yang punya anak 11 bisa urus rumah tetap rapi dan memasak untuk suami tercinta."

Sebenarnya mereka ingin memberikan motivasi agar ibu A bisa lebih strong dalam menghadapi permasalahan rumah tangga. Namun, kalimat mereka justru terkesan merendahkan orang lain.


Tips Jadi Orang Tua Bijak dalam Sharing Ilmu Parenting

Parenting bukan ajang kompetisi

Kalau sudah bertemu dengan ketiga tipe ibu nyebelin seperti itu, iyain aja biar cepat kelar urusannya. Kadang mengalah itu bukan tanda kalah, kok, tapi tanda bahwa kita masih waras.

Lalu, bagaimana caranya agar kita bisa jadi lebih bijak dalam sharing ilmu parenting? Saya punya beberapa tips untuk latihan agar tidak kebablasan jadi ibu nyebelin saat sharing ilmu parenting.

1. Hadirkan empati dan simpati

Pertama-tama sebagai ibu, hadirkan rasa empati dan simpati kepada ibu lain. Bayangkan jika kita yang berada di dalam posisi ibu lain, apakah kita bisa menghadapi masalah itu? Belum tentu bisa, kan?

2. Tidak merendahkan ibu lainnya

Jika ada ibu lain yang sedang curhat masalah tumbuh kembang anaknya jangan sekali-kali merendahkan mereka. Jawab jika memang ada pengalaman serupa atau diam saja jika memang tidak ingin menanggapi.

Misalnya saja ada yang bertanya, "anak saya umur segini kok belum bisa jalan, ya? Ada saran nggak moms?"

Contoh jawaban yang nggak banget, "loh, kok, belum bisa jalan? Anak saya sejak umur sebulan udah saya stimulasi. Mom nggak pernah stimulasi anaknya ya?"

Better dijawab seperti ini, "coba stimulasi pakai pushwalker atau dorong galon, anak saya dulu juga gitu."

Simple, jelas, dan memberikan solusi tanpa menghakimi atau merendahkan, kan? Yuk, bisa, yuk, jadi ibu bijak anti julid, hihihi.

3. Tidak membandingkan

Selanjutnya, jangan sekali-kali membandingkan anak ibu dengan anak lainnya. Tumbuh kembang anak itu berbeda-beda karena setiap anak juga diciptakan Tuhan berbeda.

Hal paling bijak jika memang menemukan ibu yang anaknya diduga memiliki keterlambatan dalam tumbuh kembang adalah menyarankan untuk cek ke dokter. Setidaknya hal tersebut lebih netral daripada harus membandingkan tumbuh kembang anak.

4. Tidak sok tahu

Kok, nakal gitu, sih, anaknya. Emangnya nggak dekat sama ibunya ya?"

Hayo, siapa yang pernah gitu atau pernah dengar selentingan kalimat seperti itu? Hindari berkata seperti itu, ya, Bun.

Walaupun sepertinya biasa saja, tapi kata-kata sok tahu semacam itu bisa menyakiti perasaan ibu. Sebab, kita juga nggak tahu bagaimana situasi dan kondisi rumah dari ibu-ibu lainnya.

5. Jadi pendengar atau pembaca yang baik

Kalau tidak bisa memberikan solusi, setidaknya jadilah pendengar atau pembaca yang baik. Terkadang, seorang ibu itu hanya butuh disemangati.

Mereka hanya butuh dukungan untuk kuat dalam menghadapi masalah masing-masing. Hanya berkata, "peluk online, ya, Bun" saja sudah bisa memberikan semangat positif daripada nasihat panjang tapi ujung-ujungnya julid juga.


Penutup

Parenting sebagai ajang kompetisi? Nggak penting banget, ya, Bun. Toh, saat kuliah atau kerja juga nggak bakalan ditanya pertama kali jalan umur berapa atau pertama kali bicara usia berapa, kan?

Hal yang paling penting adalah menjaga anak agar sesuai dengan milestone tumbuh kembang. Tidak harus selalu cepat tercapai, tapi pelan-pelan asal sesuai. Jika terjadi keterlambatan tumbuh kembang yang sudah red flag, lebih baik langsung konsultasi ke ahlinya.

Posting Komentar

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca sampai akhir :)
Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar.

Love,
Anggi