Ia5K33hce05kVEU1UP8J8DLa01dvV8DSgOffubpV
Bookmark

Saat Si Kecil Mengalami Perpisahan

Terkadang, pertemuan dan perpisahan terjadi terlalu cepat. Namun, kenangan dan perasaan tinggal terlalu lama."

Fiersa Besari
Perpisahan si kecil

Sejak kecil, saya selalu sensitif ketika mengalami perpisahan. Saat pindah ke Surabaya dari desa, saya masih menangis hingga beberapa hari, merindukan suasana bermain dengan teman-teman di desa. Vibesnya sudah mirip sekali dengan film Petualangan Sherina saat Sherina harus pindah ke Bandung.

Memang benar darah itu lebih kental dari air, rasa sensitif dengan perpisahan itu nyatanya menurun kepada si kecil. Saya pikir kalau anak-anak mengalami perpisahan, ya, paling 1-2 hari sudah lupa. Namun, ternyata si kecil masih mengingat kenangan yang tertinggal setelah berpisah, meskipun sudah berhari-hari lamanya.

Mungkin postingan ini akan sedikit mengandung bawang karena memang sesedih itu tingkah si kecil saat mengalami perpisahan. Saya sampai ikut mewek saat membersamai si kecil dalam menghadapi perpisahan.


Perpisahan Pertama Si Kecil dengan Yangti, Turut Merasakan Kekosongan yang Dalam

Si kecil mengalami perpisahan pertama kali saat berusia sekitar 2 tahun. Saya punya Bude, kakak dari Ayah yang suka memanjakan si kecil semasa hidupnya. Si kecil memanggilnya dengan Yangti (Eyang Uti).

Saat beliau mulai sakit, saya sering mengajak si kecil untuk menjenguknya di rumah. Beliau terbaring di kamar depan. Si kecil selalu saya beri pengertian bahwa Yangti sedang sakit.

Si kecil pun sering mencium Yangti atau melihatnya dengan tatapan penuh tanda tanya. Kadang ia suka berputar-putar di sekitar tempat tidur Yangti.

Sekitar 2 bulan kemudian, kondisi Yangti memburuk. Saya makin sering ajak si kecil untuk bertemu Yangti. Namun, qodarullah tak lama kemudian Yangti berpulang ke Rahmatullah.

Saat itu, si kecil sama sekali tak tahu kalau Yangti sudah meninggal dunia. Pikir saya anak seusia si kecil belum paham dan pasti tidak akan paham kalau dijelaskan tentang kematian.

Hari demi hari setelah kepergian Yangti pun berlalu. Hingga suatu ketika, saya kembali mengajak si kecil ke rumah Yangti untuk mengambil barang. Si kecil tiba-tiba berlari ke arah kamar Yangti. Dia terlihat seperti sedang mencari-cari sesuatu.

"Cari apa, Sayang?"

"Loh, Yangti ilang, Bunda…" ucap si kecil sambil meraba-raba kasur. Sesekali ia melongok, seperti mencari Yangti.

Mak deg! Ada rasa sesak yang tiba-tiba memenuhi dada. Tak pernah saya sangka ingatan tentang Yangti di kamar itu melekat kuat di kenangan si kecil.

Saat itu suasana kamar sangat hening. Kamar itu terasa begitu kosong dengan barang-barang yang biasa dipakai Bude selama sakit.

Saya pun duduk di kasur itu sambil melihat si kecil yang masih mengusap-usap kasur. Sesekali ia berceloteh, "Yangti mana? Yangti ilang…"

Jujur, paling tidak bisa kalau disuruh masuk ke kamar orang yang sudah meninggal dunia. Pasti ujung-ujungnya menangis karena merasakan kesepian dan kekosongan yang mendalam.

Istilahnya sama seperti quote pembuka dari Fiersa Besari di awal tulisan bahwa pertemuan dan perpisahan itu sebentar, tapi kenangan dan perasaan masih tertinggal cukup lama.


Perpisahan dengan Teman, Lebih Dramatis Lagi Efeknya

Perpisahan kedua yang dialami si kecil terjadi saat berusia 3 tahun. Saat itu si kecil harus berpisah dengan teman bermain yang hampir setiap hari menghabiskan waktu bersama.

Di episode perpisahan kali ini lebih dramatis. Rasanya seperti menonton film Jepang berjudul Hachiko. Ada yang tahu cerita legendaris ini atau pernah nonton filmnya nggak?

Jadi, kira-kira sekitar pertengahan tahun 2022 lalu, si kecil punya teman baru yang merupakan anak dari penghuni kos di belakang rumah. Anak ini, kita sebut saja, Kakak, berusia setahun lebih tua dari si kecil.

Mereka sering sekali bermain sama-sama. Meskipun kadang seringkali ada pertengkaran kecil ala anak-anak, mereka tetap bermain terus hampir setiap hari.

Kadang si Kakak ini akan pulang ke desa, lalu kembali lagi setelah beberapa hari. Si kecil sering menunggu di depan kamar kos si Kakak kalau belum juga pulang. Setelah beberapa menit, si kecil baru mau diajak pulang.

Suatu ketika, si Kakak ini akan pulang ke desa untuk seterusnya karena akan mulai sekolah di sana. Si kecil masih stay cool saat si Kakak pamit dan mereka berpelukan.

Si Kakak ini terlihat agak enggan saat naik ke motor untuk diantar ke stasiun. Sepertinya dia juga belum siap dengan perpisahan dadakan ini. Sebenarnya mereka ingin pulang mendekati lebaran. Namun mamanya si Kakak ini dapat tiket kereta di awal-awal puasa.

Mereka pun akhirnya berpisah. Si kecil belum menunjukkan tanda-tanda rewel atau mencari si Kakak. Hingga keesokan paginya mulailah si kecil mencari si Kakak.

Dia masih belum paham kalau si Kakak ini tidak akan kembali lagi. Dia tahunya kalau kakak pergi, nanti akan kembali lagi seperti biasanya.

Sedihnya, hampir tiap hari si kecil tetap mencari si Kakak di depan kamar kos yang sekarang sudah kosong dan hening. Dia menunggu di situ selama beberapa saat. Setelah saya jelaskan kalau kakak pulang, dia baru mau pulang.

Tuh, kan, udah mirip adegan Hachiko yang tiap hari nungguin Tuannya pulang, padahal sudah meninggal dunia. Siapa coba yang nggak mewek lihat adegan begini :"))

Hampir semingguan si kecil seperti itu. Puncaknya saat terdengar suara ketukan pintu, sama persis seperti si Kakak biasanya suka ketuk-ketuk pintu. Si kecil langsung berlari girang ke depan pintu sambil berteriak, "Eh, ada, Kakak!"

Sayangnya, itu bukan si Kakak. Itu suara kang paket yang sedang mengantarkan paket. Antara ingin ngakak dan sedih, sih. Kang paket ini PHP-in anak orang, deh! Kzl!


Sedihnya Menjelaskan Perpisahan untuk Si Kecil

Banyak orang tua merasa berjasa dalam memberikan pelajaran kepada anaknya. Nyatanya justru lewat anak, orang tua mendapat banyak pelajaran kehidupan."

Setelah tragedi kang paket yang dikira si kecil adalah si Kakak yang kembali lagi, saya pun harus segera memberi pengertian kepada si kecil. Ini part tersedih bagiku sebagai seorang Ibu. Apalagi kalau liat wajah polosnya saat sedih. Mak cess pleng rasanya.

Pelan-pelan saya jelaskan kalau Kakak tidak kembali. Kakak mau sekolah di desa sampai besar. Nanti InsyaAllah bisa bertemu lagi kalau sudah besar kalau Allah izinkan.

Perlu berkali-kali untuk memberikan pengertian ini. Sesekali saya sedikit menangis ketika si kecil mewek sambil berkata, "Kakak pulang, nggak kembali?"

Dari kejadian ini, saya justru mendapat banyak pelajaran dari si kecil. Pelajaran tentang bagaimana memperlakukan orang dengan baik setiap waktu karena kita tidak tahu kapan orang itu akan pergi.

Selain itu, juga ada pelajaran tentang bonding. Setelah saya pikir-pikir lagi, si kecil bisa seperti itu karena memiliki bonding baik dengan Yangti dan si Kakak. Mereka sering berinteraksi, meskipun tidak sesering interaksi dengan orang tua. Namun, tetap ada interaksi yang intens di antara mereka.

Sama seperti bonding dengan orang tua. Jika interaksi kurang, si kecil tidak akan memiliki reaksi yang sama saat ditinggal atau tidak bersama orang tuanya. Bahkan, ada yang cuek saat ditinggal pergi orang tuanya.


Penutup

Sekian curhat dari mamak-mamak yang sedari dulu memang gampang mellow. Pengalaman membersamai saat si kecil mengalami perpisahan sungguh sangat memberikan pelajaran berharga. Tentang pertemuan, bonding, perpisahan, dan rasa yang masih tertinggal setelah berpisah.

Posting Komentar

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca sampai akhir :)
Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar.

Love,
Anggi