Ia5K33hce05kVEU1UP8J8DLa01dvV8DSgOffubpV
Bookmark

Pengelolaan Sampah di Bandung: Transisi Menuju Zero Waste Cities

Perjalanan Bandung Menuju Zero Waste Cities


"Bu, ini tolong dipisahkan sampahnya antara sampah organik dan anorganik," ucap seorang petugas pengumpul sawah kawasan di kota Bandung, "pakai wadah bekas aja, ya, Bu". Petugas pengumpul sampah kawasan itu pun langsung memisah sampah yang dibawa oleh sang pemilik rumah. 3 minggu kemudian sang pemilik rumah sudah berhasil memisahkan sendiri sampah rumah tangga yang dihasilkannya sehingga petugas kawasan tinggal memindahkannya ke masing-masing wadah untuk diolah lebih lanjut.

Sistem untuk mengelola sampah dari sumbernya tersebut sudah berjalan di beberapa kelurahan di Bandung sebagai transisi menuju Zero Waste Cities. Diawali dengan program Kawasan Bebas Sampah (KBS) pada tahun 2015 sebagai langkah awal pengelolaan sampah di kota Bandung, hingga inisiasi program Kang Pisman (Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan) pada tahun 2018. Dalam perkembangannya, Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) sebagai organisasi non-profit profesional berlokasi di Kota Bandung juga turut serta untuk mewujudkan dan mengembangkan Kawasan Bebas Sampah (KBS) pada skala kelurahan, kecamatan, hingga kota. YPBB mencoba untuk mengembangkan program Zero Waste Cities yang diadopsi dari Mother Earth Foundation (MEF) di Filipina.

Namun, hasil studi kasus YPBB terhadap beberapa kelurahan pilot merujuk pada kesimpulan bahwa perbaikan tata kelola sampah di Bandung belum mengalami hasil yang signifikan. Pada Konferensi Pers Menjajaki Transisi (Perjalanan Kota Bandung Menuju Zero Waste Cities) yang digelar secara daring lewat Zoom (29/03) lalu, memaparkan berbagai hal tentang perkembangan masa transisi Bandung menuju Zero Waste Cities, hasil studi kasus, kendala, serta tantangan yang dihadapi oleh Bandung ke depannya. Konferensi Pers tersebut menghadirkan Deti Yulianti, S.T., M.T (Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung), Ir. Ria Ismaria, M.T (Forum Bandung Juara Bebas Sampah), Ratna Ayu Wulandari, S.Hut (Zero Waste Cities YPBB Kota Bandung) dan Hanifa P. S. IKom (Presenter TVRI Jawa Barat) sebagai moderator.

Sejarah pengembangan program pengelolaan sampah dari kawasan

Dibalik kota Bandung yang cantik, ternyata menyimpan permasalahan tentang tata kelola sampah yang saat ini masih terus dikembangkan untuk menuju Zero Waste Cities atau Kota dengan Nol Sampah. Pemerintah kota Bandung melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) bersama mitra yang lain seperti YPBB telah membentuk forum Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS) tahun 2013. Forum BJBS juga mengajak seluruh warga Bandung yang punya keinginan melihat kota tercintanya selain terlihat cantik, juga bersih. Sesuai singkatannya, Forum BJBS punya visi untuk mewujudkan Bandung bebas sampah dengan program Kawasan Bebas Sampah (KBS) yang dimulai sejak tahun 2015.

Bandung Zero Waste Cities

Kordinator forum Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS), Ria Ismaria, menyebutkan bahwa Kota Bandung perlu segera mempercepat perubahan sistem serta budaya pengelolaan sampah dari kumpul-angkut-buang yang akhirnya menjadi beban berat di hilir dengan melakukan penanganan serta pengelolaan sampah langsung dari sumbernya. Contohnya dengan melakukan pemilahan sampah rumah tangga jadi organik dan anorganik pada Kawasan Bebas Sampah. Selain jadi beban di hilir, pendanaan yang harus dikeluarkan pemerintah kota Bandung juga sangat tinggi untuk pengangkutan sampah ke TPA Sarimukti. Bayangkan saja jumlah sampah yang dihasilkan warga Bandung dalam sehari mencapai 1324 ton.

"Tujuan dari program kawasan bebas sampah adalah sebagai edukasi untuk perubahan perilaku masyarakat Bandung agar lebih memiliki budaya dalam mengelola sampah," ujar Ria dalam Konferensi Pers Zero Waste Cities secara daring.

Hingga saat ini, program KBS sudah dilaksanakan secara menyeluruh di kecamatan di Kota Bandung. Namun, baru 94 kelurahan dari 151 kelurahan yang menjadi master plan dari program ini. Dari 1858 RW pada data DLKH, baru 180 RW yang disentuh program KBS. Ria juga menyoroti beberapa hal kritis seperti perlunya penegakan aturan dari pemerintah untuk tata kelola sampah mulai dari rumah tangga. Apa yang dikatakan oleh Ria, ternyata sejalan dengan temuan tim YPBB pada 2 kelurahan yang jadi kelurahan pilot, yaitu Sukaluyu dan Babakan Sari. Sebanyak dua RW di Babakan Sari hanya menyetor sampah organik guna memenuhi syarat ZWC tanpa ketokohan yang kuat. Selain itu, pemilahan sampah malah dikerjakan petugas pengumpul sampah kawasan. Seharusnya, pemilahan sampah dilakukan dari rumah bukan dibebankan pada petugas pengumpul sampah kawasan. Oleh karena itu penegakan aturan juga diperlukan selain penerapan program KBS.


Studi Komparasi Penerapan Kang Pisman dan Rekomendasi YPBB untuk Pemerintah Bandung

Sistem yang diterapkan oleh kader YPBB dalam membangun Zero Waste Cities terhadap kelurahan model dimulai dari edukasi kepada warga dari rumah ke rumah, melalukan pelatihan kepada Petugas Pengumpul Sampah, serta pendampingan terhadap warga dan petugas. Pengembangan model Zero Waste Cities di kota Bandung berfokus kepada sistem pengumpulan sampah terpilah dan pengolahan sampah secara holistik yaitu edukasi-operasional-kelembagaan-regulasi-pembiayaan.

YPBB

Ratna Ayu Wulandari selaku Koordinator Manajer Kota ZWC dari YPBB menjelaskan hasil studi komparatif terhadap 3 kelurahan dengan penerapan model Kang Pisman, yaitu Kelurahan Cihaurgeulis, Kelurahan Sukamiskin, dan Kelurahan Neglasari. Cihaurgeulis dan Sukamiskin mendapat intervensi penuh dari DLH, sedangkan Neglasari memiliki inisiatif sendiri untuk menjalankan Rencana Teknis Pengolahan Sampah (RTPS) dari DLH. Cihaurgeulis dan Sukamiskin memiliki tingkat ketaatan dan waste diversion yang lebih tinggi dibandingkan Neglasari. Tingkat ketaatan menunjukkan bagaimana warga mengolah sampah sesuai ZWC, sedangkan waste diversion menunjukkan berapa banyak limbah yang bisa dialihkan tanpa membakar (insinerasi) atau membuang ke TPA.

Hasil studi komparatif tersebut menunjukkan bahwa warga masih bergantung dari pendampingan serta program insentif dari masyarakat. Hal itu mendapat garis bawah dari Ayu bahwa intervensi yang dilakukan oleh pemerintah bisa menyebabkan masyarakat bergantung terhadap insentif, ketokohan, dan pendamping. Hal itu juga bisa berakibat borosnya sumber daya. Selain itu, penegakan hukum sesuai Perda dan Perwal juga belum kuat di masyarakat. Oleh karena itu, Ayu merekomendasikan peranan pemerintah kota Bandung untuk melakukan perbaikan tata kelola sampah secara menyeluruh dari berbagai aspek. Mulai dari operasional, pendanaan, kelembagaan, regulasi, hingga peran publik.

“Hal itu terus kita dorong. Jadi, tidak hanya menitikberatkan tanggung jawab kepada pemkot, tapi ada pelibatan peran dari tingkat pemkot sampai ke level kelurahan,” tutur Ayu.

Dari hasil studi komparasi YPBB tersebut, Ratna percaya bahwa pencapaian ZWC besar potensinya untuk diwujudkan dengan catatan seluruh stakeholder dapat berpartisipasi aktif. Terlebih pemerintah yang memiliki wewenang di daerah.


Kiprah Pemerintah untuk Bandung Bebas Sampah

"PR terbesar pemkot Bandung adalah membuat sistem pengumpulan sampah terintegrasi hingga ke TPA," tutur Deti Yulianti, Kepala Seksi Kerjasama Teknis Operasional, Pengawasan Sampah, DLH Kota Bandung.

Pada tahun 2024 nanti, Bandung akan pindah TPA dari Sarimukti ke Legok Nangka. Pada perjanjian kerjasama dengan Legok Nangka, sampah yang boleh dibuang hanya sekitar 800-1025 ton per hari. Padahal, jika perilaku warga Bandung masih sama seperti sekarang, diprediksi pada tahun 2024, sampah yang dihasilkan Bandung akan naik menjadi 1750 ton per hari. Belum lagi masih ada sekitar 10% kalangan yang lebih suka membuang sampah di lahan-lahan kosong, sehingga tidak membayar retribusi sampah. Sampah-sampah tersebut belum masuk ke sistem layanan pengolahan kota, sehingga jadi catatan penting juga untuk pemerintah Bandung dalam hal integrasi terpadu seluruh sampah.

Salah satu rencana DLH Kota Bandung untuk meminimalisir hal tersebut adalah membuat jadwal pengangkutan sampah yang sudah terpilah. Sampah organik diangkut setiap hari Senin, Rabu, Kamis, Sabtu, dan Minggu, sedangkan pengumpulan sampah anorganik setiap Selasa dan Jumat. Program ini akan segera diproyeksikan pada 18 TPS. Jika lancar barulah diterapkan pada seluruh wilayah kota Bandung.

Pada kasus ketergantungan warga pada pendamping di wilayah terkait pengelolaan KBS, bisa dievaluasi dengan menciptakan sistem yang lebih berkelanjutan. Deti menerangkan bahwa pada tahun 2020, mulai uji coba pengembangan KBS dengan tidak fully participatory base. Sistem dibangun mulai dari petugas pengumpul terpilah, pendamping, dan dukungan sarana dari wilayah setempat untuk pengolahan sampah.

Tantangan pemerintah kota Bandung selanjutnya adalah penyediaan infrastruktur pengolahan sampah dengan kemampuan 400 ton sampah per hari. Selain itu juga tantangan penegakan hukum, sama dengan apa yang sudah dituturkan oleh Ibu Ria dan Ibu Ayu. Peran masyarakat dan pemerintah juga harus diorganisir untuk menjalankan strategi pengurangan sampah di Kota Bandung. Dengan begitu, Keterlibatan pemerintah menjadi poin penting dalam pengelolaan sampah di tingkat kawasan.


Kesimpulan

Transisi kota Bandung menuju Zero Waste Cities bukan proses yang mudah. Studi komparatif berbagai kasus pemilahan sampah di beberapa kelurahan menunjukkan pengelolaan sampah kawasan terpilah secara holistik dengan model ZWC bisa dilakukan. Intervensi pemerintah secara parsial terbukti tidak efisien, boros sumber daya, serta menimbulkan perilaku ketergantungan. Oleh sebab itu, 

YPBB terus merekomendasikan pemerintah untuk segera mengembangkan model dengan tata kelola ZWC yang holistik. Model-model pengumpulan sampah yang sudah ada harus terus diperbaiki, serta dipercepat penyebarannya seiring dengan semakin gentingnya krisis lingkungan dan sosial. Keterlibatan pemerintah juga jadi tonggak utama penyatu semua stakeholder yang dibutuhkan untuk mendukung terlaksananya Zero Waste Cities.


Referensi:

Konferensi Pers Menjajaki Transisi (Perjalanan Bandung Menuju Zero Waste Cities) tanggal 29 Maret 2022

File Studi Kasus Bandung Zero Waste Cities

https://ypbb.web.id/hasil-studi-ypbb-perbaikan-pengelolaan-sampah-kota-bandung-belum-signifikan/


Posting Komentar

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca sampai akhir :)
Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar.

Love,
Anggi