Ia5K33hce05kVEU1UP8J8DLa01dvV8DSgOffubpV
Bookmark

RUU Permusikan, Niat Baik yang Dianggap "Lucu"

(Instagram/Endah N Rhesa)
Sudah banyak media berita daring atau luring di Indonesia yang menempatkan pemberitaan Rancangan Undang-undang tentang Permusikan atau RUU Permusikan sebagai trending topic selama beberapa hari terakhir. Hal ini tak lepas dari kontroversi RUU Permusikan, khususnya pada  Pasal 5 dan Pasal 32, yang terkesan membatasi kreativitas musisi di Indonesia.

Selain Pasal 5 dan Pasal 32, masih banyak Pasal  RUU Permusikan yang mengalami kontroversi. Salah satunya yaitu Pasal 42:

“Pelaku usaha di bidang perhotelan, restauran, atau tempat hiburan lainnya wajib memainkan Musik Tradisional di tempat usahanya.”

Sepintas tak ada yang aneh atau salah dengan kalimat tersebut. Namun, bila ditelaah lebih lanjut, ada sesuatu mengganjal yang sebelumnya sudah banyak dikritik oleh para musisi. Batasan-batasan dalam kalimat tersebut sangat tidak jelas. Tempat hiburan apa yang dimaksud? Musik tradisional seperti apa yang dimaksud? Apakah musik tradisional Indonesia atau segala jenis musik tradisional yang ada di dunia?

Kalimat dalam pasal 42 tersebut pun jadi ambigu. Jika dilihat dari sudut pandang pelestarian budaya, jelas ide di dalam pasal 42 tersebut sangatlah cerdas. Sebaliknya, jika dilihat dari musik tradisional di kacamata seorang pelaku usaha, apakah bisa ide tersebut diterapkan secara tepat guna? Bayangkan saja jika seorang pelaku usaha tempat hiburan yang khusus menyediakan musik rock tiba – tiba harus memainkan musik tradisional, atau restauran bertema Arab yang tiba – tiba harus menyesuaikan konsep untuk menambah permainan musik tradisional. Masa iya, tempat-tempat hiburan sekelas pub memutar musik tradisional dengan alat musik tradisional? Pemikiran - pemikiran tersebut pasti satu atau dua kali sempat muncul di dalam pikiran tiap orang yang pertama membaca kalimat dalam pasal 42.

Secara sudut pandang nasionalisme, ide dalam pasal 42 tersebut memang bagus. Musik tradisional bisa terus berkumandang di tengah gempuran musik - musik kontemporer. Namun, harus diiringi dengan penjelasan yang lebih lengkap dan berimbang sesuai dengan kondisi di lapangan. Selain itu, tidak dijelaskan juga kontrol apa yang akan digunakan untuk menerapkan pasal 42 dalam RUU Permusikan. Akan menjadi suatu hal yang percuma jika tidak didetailkan dari awal, sehingga dalam pelaksanaan RUU Permusikan pun menjadi sia – sia pada akhirnya. Selain banyak berisi pasal karet, pasal-pasal yang lain juga berpotensi memarjinalkan musisi independen yang hanya berpihak pada industri besar saja.

Tidak bisa dipungkiri, banyak musisi independent yang saat ini sedang berkembang, mewarnai skema musik lokal, karena seiring waktu, ragam musik hadir dengan tatanan segar dari para sosok kreatif baru. Musisi independet lebih mengutamakan kualitas dan kejujuran musiknya, tidak bisa diatur oleh keinginan produsen label musik. Semua lagu yang diciptakan merupakan hasil idealisme yang murni dari musisi itu sendiri.

Indonesia merupakan negara Demokrasi, semua orang bebas untuk berekspresi, musisi bernyanyi berdasarkan isi hati. Lantas, masih pantaskah dipertahankan RUU Permusikan tersebut yang cendrung membelenggu para musisi berekspresi.

Sebenarnya banyak hal yang dapat dilihat dari sudut pandang positif dalam beberapa pasal RUU Permusikan yang dipermasalahkan oleh sebagian besar musisi Indonesia. Hal tersebut mengakibatkan sudut pandang positif tersebut berubah menjadi sebaliknya dan menjadi niat baik yang dianggap "lucu" pada akhirnya.

Alangkah lebih elok, jika DPR mampu menganalisa apa sebenarnya yang dibutuhkan rakyat. Alih-alih mensahkan RUU permusikan, bukankah masih banyak permasalahan rakyat yang mengharuskan adanya UU untuk kesejahteraan mereka. Bagi kami rakyat biasa, RUU permusikan tidak dibutuhkan untuk saat ini. Karena dari sudut pandang manapun, kontra terhadap RUU permusikan lebih banyak dari yang pro.


Sumber diskusi artikel :

NB : Artikel ini dianggit untuk menyelesaikan tantangan ke 10 dari #katahatichallenge #katahatiproduction @_katahatikita dari kelompok 14 (Anggita R. K. Wardani, Bahirah Habibah, Muhammad Husein Lubis)


Posting Komentar

Posting Komentar

Terimakasih sudah membaca sampai akhir :)
Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar.

Love,
Anggi