Ia5K33hce05kVEU1UP8J8DLa01dvV8DSgOffubpV
Bookmark

Wanita Berkeluarga 'Undercover': Suara yang Dirampas Paksa

"Kamu ngapain aja di rumah, Lia? Beresin rumah kecil gini aja gak becus!"

Bentak sang suami yang terlihat kesal karena tak ada yang beres di rumah itu. Cucian yang menumpuk di pojok kamar mandi, piring kotor yang masih berserakan di dapur, lantai rumah yang belum juga disapu, serta masih banyak hal lain yang tidak pas di dalam rumah itu telah membuatnya gusar.

"Cari kerja sana, lo! Buat apa ijazah S2 yang kamu punya? Bungkus popok anakmu? Tiru itu si Rita. Wanita mandiri, bisa cari uang sendiri, gak jadi beban suaminya!"

Belum habis kemarahannya, tiba-tiba dua malaikat kecil titipan Sang Pencipta berlari dengan tangan penuh cat air warna-warni menabraknya, membuat baju kerjanya kotor. Makin menjadi-jadi amarah dalam hati sang suami hingga piring yang ada di hadapannya ia lemparkan ke arah sang istri.

Pyarrr!!!

Untung saja keadaan marah telah mengacaukan konsentrasinya, sehingga piring itu mendarat di samping sang istri. Setelah itu, digebraknya meja makan dengan sekuat tenaga. Ia pun berlalu, pergi begitu saja meninggalkan istri dan kedua anaknya yang menangis sambil berpelukan.

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Lia untuk membela diri atau sekadar menjelaskan segala rasa lelahnya seharian berada di rumah sambil mengurus dua bocah yang sedang aktif. Rasa sakit hati yang teramat sangat membuat suaranya tercekat dalam tenggorokan. Hanya air mata yang mampu mendeskripsikan semua yang dirasakan olehnya.

***

"Gorengan! Mbak Lia gorengan, mbak!"

Tak ada jawaban dari dalam rumah yang sudah jadi langganannya itu. Rumah sederhana itu masih tertutup rapat, tak seperti biasanya. Wanita penjual gorengan itu pun melanjutkan perjalanan untuk menjajakan dagangannya.

"Gorengan!! Tahu isi, dadar jagung, pisang goreng!"

Sesekali wanita yang hanya memakai setelan baby doll saat berdagang itu berteriak untuk menawarkan gorengan. Letih sudah mulai ia rasakan. Butir-butir keringat mulai memenuhi dahinya.

"Mbak Indah, gorengan, mbak!"

Sebuah suara wanita yang lembut tiba-tiba memanggil nama wanita itu. Langsung gembira bukan main hati si penjual gorengan itu. Ternyata itu suara Mbak Rita, langganan yang lumayan sering membeli gorengan sebelum berangkat kerja. Ia pun segera menghampiri Mbak Rita dengan wajah berseri-seri serta gaya sok akrab khas miliknya.

"Mau yang mana, Mbak Rita? Atau mau diborong semuanya buat orang satu kantor?"

"Waduh, bangkrut aku, Mbak Indah, hahaha. Mau dadar jagung 5 sama pisang goreng 5 aja."

"Alhamdulillah! Penglaris!" Seru Mbak Indah sambil menepuk pelan uang pemberian Mbak Rita ke gorengannya, sebuah mitos khas orang jawa yang katanya bisa membuat dagangan laris.

"Oh, iya, Mbak, ini uang arisanmu mau diambil kapan? Nanti kalau aku tilep buat foya-foya gimana?"

Mbak Indah termenung sejenak,"boleh titip dulu, nggak, Mbak Rita?"

"Loh, kenapa?"

"Suamiku itu loh mbak," dia menghela napas sejenak,"masak hasil daganganku diminta terus ditabung sama dia. Katanya harus hemat, jadi aku nggak boleh jajan pakai uang ini. Itu kan hasil kerja kerasku, ya harusnya terserah aku mau aku apain. Jadi, aku titipin aja lah ke Mbak Rita, buat simpananku. Nanti akhir bulan aku jemput uangnya."

"Loalah, kenapa nggak buka tabungan aja?"

"Nanti gampang ketahuan, Mbak Rita. Titip aja lah ke Mbak Rita. Mau dipakai dulu juga nggak apa-apa."

"Lo, lo, lo, ya, jangan. Gini aja, sementara aku bawa dulu. Nanti kalau ada waktu, coba aku buatkan tabungan, tapi nanti aku yang bawa buku tabungannya biar aman. Jadi suamimu nggak tahu."

"Leres, wis, Mbak Rita. Aku padamu hehe."

"Ya, wis, sini, mana gorengannya. Aku mau berangkat kerja."

"Ini, Mbak," ujar Mbak Indah sambil menyerahkan bungkusan berisi gorengan kepada Mbak Rita, "loh, Mas Prabu nggak kerja?"

Sorot mata Mbak Rita langsung berubah jadi sendu, ada kepedihan yang tak bisa ia ceritakan, "belum, nih, Mbak Indah. Doakan segera ya."

"Oalah, oke, Mbak Rita. Hati-hati di jalan ya."

"Siap, terima kasih, Mbak Indah."

Wanita penjual gorengan itu pun memutuskan untuk segera pulang, meskipun masih tersisa 3 gorengan yang belum terjual. Di rumah ada anak dan suami yang belum makan dari pagi.

Lelah rasanya, tapi mengeluh adalah larangan suami yang harus ia patuhi. Bekerja sampingan adalah pilihannya, lelah adalah resikonya. Jangan sekali-kali bersuara atau berpisah adalah konsekuensinya.

***

Sosok wanita paruh baya tampak mondar-mandir di depan teras rumah. Sesekali mulutnya komat-kamit melampiaskan kekesalan. Sudah pukul 9 malam, tapi menantunya tak kunjung pulang. Hampir saja ia mengunci pagar rumah ketika mobil putih milik menantunya datang.

Tanpa basa-basi, wanita tua itu langsung menghampiri mobil itu, dan melampiaskan kekesalannya, "kemana aja, jam segini baru pulang? Kasihan itu suamimu dari tadi nggak ada yang urus!"

Sang menantu pun segera turun dari mobil. Guratan lelah tampak menghiasi wajahnya. Rasa kesal menjalar perlahan dalam hati wanita cantik itu.

"Bu, saya ini kerja dari pagi. Uangnya juga untuk memenuhi kebutuhan hidup selama Mas Prabu belum kerja."

"Eh, dikasih tahu malah ngelawan, kamu, ya, Rita! Masih syukur suamimu nggak minta cerai!"

Emosi marah si wanita itu makin memuncak, "harusnya itu kewajiban anak ibu, ya, untuk menafkahi saya. Bukan saya yang menafkahi dia. Usaha, kek, ngojek, kek, bukannya malah tidur seharian."

"Berani kamu, ya, Rita!"

"Saya cuma bersuara biar ibu paham, apa yang saya lakukan ini untuk keluarga juga."

"Loh, dikasih tahu makin ngeyel! Diam kamu!"

"Saya nggak ngeyel, bu, saya cuma ..."

"Plak!" 

Belum selesai wanita muda itu menjelaskan, sebuah tamparan keras dari sang suami mendarat di pipi kirinya. Rasa sakit hati makin menjadi kala sang suami menyeretnya ke dalam rumah, lalu memukulinya. Wanita itu pun hanya bisa menangis tanpa suara, menahan sakit yang teramat demi rasa malu yang ia jaga untuk keluarganya.

***

Sebuah cerpen berjudul "Wanita Tanpa Suara" - Anggita Ramani, yang terinspirasi dari kisah nyata, serta dibuat khusus sebagai refleksi Hari Perempuan Internasional. Nama dan tempat kejadian sengaja disamarkan.

Hari Perempuan Internasional

Realita Gelap Sebagian Wanita Berkeluarga

Lia, Indah, dan Rita adalah realita wanita tanpa suara yang masih ada di sekitarku. Jangankan embel-embel "kesetaraan gender untuk masa depan berkelanjutan" sesuai tema Hari Perempuan Internasional tahun ini, bersuara untuk sekadar menyampaikan isi hatinya saja sudah dianggap suatu kesalahan fatal bagi seorang wanita dalam lingkup keluarga toxic.

Masih banyak tradisi tentang wanita tanpa dilandasi akal yang berkembang di masyarakat lokal. Sebut saja cerita ekstrem Rita yang dipaksa bungkam untuk menutupi bobrok keluarganya setelah jerih payahnya saat bekerja tidak dihargai sama sekali. Suara Rita telah direnggut oleh sesama wanita yang mengatasnamakan tradisi. 

Berkebalikan dari cerita Rita, wanita bernama Lia punya kesempatan untuk mengabdi dari rumah. Namun, sang suami malah mempermasalahkannya sebagai "beban suami" karena tidak bekerja. Lucu sekali bagiku kalau ada lelaki seperti ini. Bukankah kewajiban suami untuk menafkahi istri?

Selain cerita Rita dan Lia yang cukup miris, masih ada cerita Indah yang membuat keresahan dalam hati ini makin membuncah. Ternyata masih ada suami yang belum memberi istrinya kebebasan finansial. Harusnya, uang hasil kerja Indah adalah hak mutlaknya. Mau ditabung, dibagikan, dijajankan, itu terserah Indah. Uang itu bukan hak suaminya.

Miris sekali memang, nasib sebagian wanita berkeluarga di Indonesia. Sebuah 'undercover' dari banyaknya wanita berkeluarga yang hidup bahagia. Ini adalah cerita tentang mereka yang bahkan tak punya hak untuk bersuara. Mengeluarkan pendapat tentang apa yang mereka rasakan adalah suatu kesalahan besar di mata keluarga toxic mereka.


Refleksi Hari Perempuan Internasional Versiku: Jangan Rampas Suara Kami

Hari ini, tepat 8 Maret 2022 pada Hari Perempuan Internasional, sebuah tema yang mengangkat kesetaraan gender untuk wanita pada isu perubahan iklim digaungkan oleh UN Women. Wanita dianggap sebagai penggerak utama dalam mengangkat isu perubahan iklim. Bagaimana tidak, menurut penelitian, pendidikan paling ampuh adalah pendidikan keluarga. Artinya wanita punya peranan penting sebagai agent of change.

Sedikit geser ke wilayah tropis bernama Indonesia, sebagian kecil wanita di negara ini masih ada yang berjibaku dengan isu KDRT serta hak untuk bersuara di dalam keluarga. Banyak wanita yang hak suaranya dirampas paksa oleh keluarganya sendiri. Peran penting sebagai agent of change hanyalah mimpi belaka bagi sebagian kecil wanita di Indonesia.

"Wanita cukup diam saja. Selain itu, harus bisa melahirkan normal, mendidik anak, membersihkan rumah, melayani suami, memasak, dan lain sebagainya."

Kalimat di atas adalah tradisi beberapa keluarga di Indonesia yang masih menjadikan wanita sebagai obyek serta memanipulasi hak wanita atas tubuhnya sendiri. Bahkan, kadang wanita tak diberi kebebasan untuk menyuarakan keinginannya sendiri. Padahal kodrat wanita itu hanya menstruasi, hamil, dan menyusui. Selain itu adalah tugas bersama suami-istri dalam suatu rumah tangga.

Mau dibawa kemana masa depan Indonesia kalau banyak yang belum paham peran penting wanita sebagai agent of change. Harusnya wanita juga dihargai sangat tinggi di dalam keluarga setelah kepala keluarga. Harusnya wanita juga diberi kebebasan serta ruang untuk menyampaikan keresahan dalam hatinya, menyampaikan pilihan yang mereka suka, dan memberi kebebasan untuk bersuara.

"Jangan rampas suara kami"

Hanya secuil kalimat di atas yang ingin aku sampaikan sebagai refleksi di Hari Perempuan Internasional. Sebagai wanita, terutama wanita yang sudah berkeluarga, belajar untuk menyuarakan apa yang ada di hati bisa jadi sarana untuk melatih pola pikir. Wanita dipercaya banyak bertindak berdasarkan perasaan dibandingkan logika. Membentuk pola pikir wanita agar lebih memainkan logikanya juga penting agar tak selalu dibilang drama, tapi berdasarkan pemikiran matang. Wanita yang cerdas akan melahirkan bayi-bayi yang cerdas, bukan? Oleh karena itu, sangat penting untuk memberikan wanita menyuarakan apa yang ada di hati serta pikirannya.


Pesan untuk Wanita di Seluruh Indonesia

Tulisan ini aku tulis sebagai bentuk keresahan terhadap sesama wanita yang nasibnya kurang beruntung seperti Lia, Indah, dan Rita. Kurangnya edukasi terkait hak serta kewajiban suami-istri dan masih tingginya panutan tradisi yang sudah tak relevan dengan kehidupan masa kini adalah beberapa faktor yang menyebabkan hal itu terjadi.

Besar harapanku agar para wanita bisa bijak memilih pasangan hidup yang satu visi dan misi. Jangan takut untuk berpendapat atau bersuara ketika ada suatu hal yang mengganjal baik di hati maupun pikiran. Sampaikan secara gamblang kepada suami, tentunya dengan etika serta bahasa yang halus.

Bagi wanita yang sudah berkeluarga, jangan ragu untuk meminta "ruang ekspresi" kepada suami agar semua keresahan bisa tersalurkan secara tepat. Menurut penelitian dari University of Maryland School of Medicine (Bowers dkk., 2013), menyatakan bahwa wanita punya kecenderungan untuk mengeluarkan 20.000 kata per hari karena protein FOXP2 (Forkhead box protein P2) wanita lebih banyak dibandingkan pria. Protein tersebut mengatur pematangan otak serta perkembangan bahasa dan bicara.

Nah, punya gambaran kan, bagaimana kalau kecenderungan wanita untuk mengeluarkan 20.000 kata per hari itu dibungkam? Pastinya akan ada penurunan kinerja bahasa dan bicara pada wanita. Beri wanita ruang untuk bersuara adalah kunci. Jangan pernah rampas hak kami untuk bersuara.


Referensi

Bowers, J.M.,Perez-Pouchoulen, M., Edwards, N.S., and McCarthy, M.M. 2013. Foxp2 Mediates Sex Differences in Ultrasonic Vocalization by Rat Pups and Directs Order of Maternal Retrieval. JNeurosci. 33, 3276–3283.

Dipna Videlia Putsanra. 2022. Tema Hari Perempuan Internasional 2022 yang Diperingati 8 Maret. https://tirto.id/tema-hari-perempuan-internasional-2022-yang-diperingati-8-maret-gpC5 . Diakses 8 maret 2020.

4 komentar

4 komentar

Terimakasih sudah membaca sampai akhir :)
Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar.

Love,
Anggi
  • Happy mom happy kids
    Happy mom happy kids
    9 Maret 2022 pukul 22.01
    Masyaallah, terinspirasi banget sama tulisan mbak 😇
    • Happy mom happy kids
      ANGGITA RAMANI
      14 Maret 2022 pukul 20.54
      Makasih mba, salam kenal ❤️
    Reply
  • deamerina
    deamerina
    9 Maret 2022 pukul 11.45
    Miris banget. Rada susah emang ngomong sama orang yang jauh lebih tua. Seringkali mereka beranggapan pendapat mereka yang paling bener. Sampe sekarang pun masih bingung gmn ngomong sama mereka tanpa dilabeli 'ngelamak'
    Semoga aja ke depannya semua perempuan (anak, istri, dll) bisa merdeka bersuara 🤍
    • deamerina
      ANGGITA RAMANI
      14 Maret 2022 pukul 20.54
      Aamiin. Masih jadi PR sih buat menjembatani antara generasi muda dan tua
    Reply