Ia5K33hce05kVEU1UP8J8DLa01dvV8DSgOffubpV
Bookmark

Dialogku dengan Tuhan yang Dijawab Secara Instan: Momen Kritis Sebelum Bertemu Jodoh

Assalamu'alaikum, Surabaya!

Menikah itu ibadah seumur hidup. Namun, jika belum waktunya menikah, kerjakan ibadah yang lainnya dulu (Meyda Sefira dalam Kajian Pranikah di Masjid Salman ITB, 2018).

Bandung adalah saksi bisu langkah awalku untuk berani mengikhlaskan serta menegaskan komitmen seorang lelaki yang sudah meng-ghosting-ku. Ya, aku pernah berada dalam hubungan toxic yang menguras energi serta waktuku yang sangat berharga. Menagih janji untuk menikah adalah satu-satunya hal yang aku kejar saat itu.

Prinsipku saat itu, "kalau lelaki berani menjanjikan seorang wanita sebuah pernikahan serta meminta wanita tersebut dari orang tuanya, saat ingin menyudahi ya wajib pamit juga dengan baik-baik. Jangan asal pergi seperti pengecut, yang beraninya hanya janji, tapi saat ditagih langsung menghilang bak setan."

Setelah kejadian tahun 2018 itu yang cukup membuatku depresi serta dibuat tak percaya diri, beberapa laki-laki pun mulai mendekat. Beberapa ada yang cuma penasaran, beberapa lagi ada yang hobi ghosting juga. Aku masih sabar menghadapi kelakuan para lelaki pengecut itu, hingga puncaknya ada satu kejadian yang membuatku sangat kecewa. Namun, aku seperti memiliki kekuatan lain untuk menyudahi lingkaran setan ghosting yang dibuat para lelaki pengecut itu.

Saat itu aku berada di puncak kecewa tertinggiku, dimana aku sudah tak bisa lagi menangis atau merasakan sedih. Rasanya ya kosong aja gitu. Aku pun melakukan dialog panjang dengan Allah yang kalau diingat-ingat lagi, kata-katanya lumayan membuatku merinding dan...

Boom!!

Allah menjawab doaku hari itu juga, selang dua jam aku berdialog denganNya. MasyaAllah merindingnya masih terasa sampai sekarang. Ya, aku tahu Allah pasti menjawab semua dialog hambaNya, tapi aku sama sekali tak menyangka bakal dijawab secara instan.

Sebelum aku spill the tea apa sih yang aku ucapkan dalam hati sampai dijawab secara instan oleh Allah, aku akan ceritakan runtutan ceritaku dari patah hati sampai momen kritis sebelum akhirnya aku menikah dengan suamiku. Ceritanya lumayan panjang, tapi aku harap singlelillah yang membaca tulisan ini bisa punya semangat kembali. Ambil baiknya saja dan buang segala keburukan yang menyertai cerita ini agar bisa jadi pelajaran yang bermakna.


Dari Bandung Aku Belajar Ikhlas

"Assalamu'alaikum, Nip, minggu depan aku mau ke Bandung, temenin, ya waktu di sana?" Ketikku pelan di layar smartphone. 

"Wa'alaikumsalam, boleh-boleh, mau berap hari di sini? Trus mau kemana aja, nih?" Teman semasa kuliahku dulu langsung menjawab pesan di aplikasi WhatsApp yang aku kirim.

"Cuma 2 hari aja, kok, trus pengen ke Bosscha aja," jawabku singkat.

"Weyy, serius cuma ke Bosscha aja??? Bandung banyak tempat bagus loh?"

"Serius, Nip, aku cuma mau ke Bosscha aja, sekaligus mau menenangkan diri. Eh tapi, jalan-jalan di sekitar alun-alun Bandung boleh juga sih."

"Oalah, ya wis kalo gitu. Kabarin lagi, ya, kalau mau berangkat."

"Okayy."

Seminggu kemudian, aku benar-benar berangkat ke Bandung sendirian dan naik kereta malam. Pikiranku sudah tidak pada tempatnya. Gelisah, galau, dan merana atau disingkat GEGANA kalau kata seniorku dulu. Jangan tanya rasa takutku kemana naik kereta sendirian malam-malam. Rasanya sudah putus semua urat takutku. 

Aku naik kereta dari kota Kediri, tempatku bekerja kala itu. Perjalanan ke Bandung memakan waktu sekitar 15 jam. Meskipun dalam keadaan kalut karena jadi korban ghosting, aku sungguh menikmati perjalanan ke Bandung. Pemandangan paling menakjubkan saat melewati semacam dataran tinggi dan kereta sedikit melambat. Saat itu lepas subuh, matahari masih berwarna kemerahan. MasyaAllah betul-betul indah ciptaanNya.

Aku sampai di Bandung sekitar pukul 7 pagi. Di sana sudah ada teman yang menjemputku. Kami pun bergegas ke kos untuk menaruh barang, sarapan, dan mulai berpetualang di Bandung. Mulai dari mencari Bandros di Alun-alun Bandung, menelusuri jalan Asia Afrika hingga Braga, mencicipi seblak asli Bandung di dekat ITB, dan berakhir di masjid Salman ITB.

Saat itu sebenarnya aku tidak tahu kalau aka ada kajian dengan Sefira Meyda di Masjid Salman ITB. Temanku juga baru tahu saat bertemu dengan salah satu juniornya, lalu sekalian mengajak kami berdua untuk ikut. Entah kenapa, kebetulan juga tema yang diangkat adalah tentang pranikah. Di kajian inilah aku sempat meneteskan air mata saat pembicara bercerita tentang sikap seorang wanita saat menghadapi lelaki yang menjanjikan sebuah pernikahan, tapi menyuruh sang wanita untuk menunggu.

Sebagai seorang wanita, kita bisa memilih mau menunggu dengan resiko tak ada jaminan pasti bakal tetap menikah atau mundur dan mengikhlaskan segala sesuatu hanya kepadaNya (Meyda Sefira).

Temanku sepertinya tahu kalau aku sedang tidak baik-baik saja. Sepulang dari kajian, temanku berbicara dari hati ke hati. Ternyata dia juga sedang berada dalam fase yang sama sepertiku, bedanya si lelaki hanya meminta untuk menunggu, dan di saat bersamaan ada seorang lelaki yang serius ingin menikahinya tanpa harus menunggu. Kami pun saling menguatkan dalam tangis yang sama-sama kita tahan dengan senyuman.

Keesokan harinya, aku akhirnya bisa pergi ke Bosscha. Tempat impian yang ingin aku kunjungi sejak munculnya film "Petualangan Sherina" belasan tahun yang lalu. Di sana aku dan temanku bisa sedikit melupakan masalah yang sedang kami hadapi hingga tak terasa sudah waktunya aku pulang ke perantauan.

Sebelum berpisah, kami kembali saling menguatkan. Dia berpesan kepadaku untuk selalu sholat istikharah agar hati menjadi lebih kuat dalam mengambil keputusan dan jangan sampai salah menafsirkan pertanda hasil sholat istikharah. Saat itu aku belum seberapa paham dengan kata-katanya tentang "jangan sampai salah menafsirkan tanda hasil istikharah", tapi aku tetap mengingatnya sebagai alarm.


Healing dengan Solo Traveling

Setelah bertemu dengan Bandung, aku segera menyelesaikan urusanku dengan lelaki pengecut itu. Aku konfrontasi lewat WhatsApp, karena memintanya untuk bertemu dan memberikan penjelasan rasanya sama dengan seperti meminta bertemu dengan presiden. Setelah itu, barulah muncul pesan balasan yang intinya dia udah tidak mau melanjutkan hubungan ini.

KZL kan bacanya?

Sama aku pun begitu. Hanya saja kalau diingat-ingat lagi sekarang, yang ada malah jadi cerita lucu yang menggemaskan. Setelah kejadian itu, ada semacam keinginan untuk healing ke kota-kota lain, dan aku benar-benar ingin sendiri. Entah itu hanya melancong atau mengabdikan jadi relawan di kota lain. Ketika berada di tempat lain yang jauh dari Surabaya, rasanya bisa sedikit damai dengan sisa racun dari toxic relationship yang baru saja aku putus penyebarannya.

Selama masa pembersihan hati dari racun tersebut, aku bisa menemukan kembali mimpi beserta jati diri. Kadang aku juga dipertemukan dengan orang-orang yang punya jalan cerita cinta mirip denganku. Kadang aku juga mendengar banyak cerita baru dari orang baru yang aku temui. Misalnya saja seperti cerita kang ojol mantan preman lokalisasi d*ll* di Surabaya, cerita seorang ibu yang berjuang hidup dan mati untuk melahirkan anak keduanya saat suaminya selingkuh, cerita seorang teman relawan yang rela bekerja jauh dari kampung halaman hanya untuk melupakan lelaki yang batal menikahinya dan masih banyak lagi cerita-cerita dari perjalanan yang aku lakukan.

Entah kenapa mereka nyaman bercerita begitu saja. Mungkin karena posisi tidak saling kenal sepenuhnya dan jarak domisili yang jauh, sehingga mereka merasa lebih nyaman bercerita dengan orang asing. Aku pernah membaca bahwa pasti ada alasan Tuhan mempertemukan kita dengan seseorang, entah untuk bercerita atau mendengarkan, entah untuk sesaat atau selamanya, dan entah untuk memberi pelajaran atau mempersatukan dalam sebuah ikatan.


3 Orang Mendekat dengan Inisial Awal Sama, Apakah Salah Satunya Jodohku?

Setelah puas solo traveling selama hampir setahun, aku mulai ikut komunitas dan beberapa kegiatan sosial. Dari situ muncul 3 nama dengan inisial awal sama yang sedang "dekat" denganku. Entah kebetulan atau ada sesuatu yang ingin Allah tunjukkan padaku. Anggap saja inisialnya A, aku samarkan jadi Alkana, Alkuna, dan Alkena.

Seperti biasa, aku akan selalu mengenalkan laki-laki yang dekat denganku kepada Ibu. Aku juga mulai menggencarkan lagi sholat istikharah, memohon pada Allah agar diberi petunjuk apakah salah satu di antara 3 orang ini adalah jodohku. Alkana dan Alkena ini mencoba maju secara intensif, sedangkan Alkuna ini berasa seperti "Kakak" buatku. Akan tetapi, di tengah perjalanan, Alkena pakai jurus ghosting untuk menunjukkan seberapa pengecutnya dia. Ya, sudah, aku tak ambil pusing karena sudah malas berurusan dengan lelaki pengecut.

Alkana akhirnya mengucapkan komitmennya, tapi memintaku untuk menunggunya sampai dia lulus kuliah. Awalnya aku ragu, tapi dia meyakinkanku, dan mohon maaf kali ini aku tidak bodoh. Aku coba turuti dan pantau apa maunya selama beberapa bulan.

Ternyata, ci luk ba!!! Lagi-lagi aku kena jurus ghosting lagi dari seorang lelaki pengecut. Saat ditanya komitmen untuk menikah, jawabannya masih mengambang. Oke, kali ini aku diam saja, dan tak peduli lagi dengan para lelaki antik ini. Bodo amat!

Tinggal si Alkuna nih, yang saat itu hanya aku anggap sebagai kakak saja. Aku lampiaskan kekesalanku padanya tentang kedua lelaki itu. Pendapat si Alkuna inilah yang akhirnya membuatku berada di momen kritis dalam menanti jodoh. Ada satu kata-katanya yang membuatku sedikit marah, tapi perkataannya saat itu benar juga.


Momen Kritis Menanti Jodoh

"Perempuan itu punya hak untuk memilih. Mau menunggu atau mengikhlaskan. Kalau kamu memilih untuk menunggu, tanggung sendiri resikonya kalau akhirnya di-ghosting."

Duer!! Rasanya seperti ada petir melintas di atas kepalaku. Kak Alkuna ini meskipun humoris, sekalinya ngomong bisa bikin orang kicep. Namun, saat itu aku justru marah. Aku marah karena merasa, "kamu tahu apa tentang hidupku?". Mungkin egoku terluka karena selama ini aku merasa benar dengan segala keputusanku.

Setelah rentetan kejadian itu, aku mendapat kabar dari teman sesama komunitas kalau si Alkena ternyata sudah lamaran dengan anggota komunitas yang dulu menjodohkanku dengan Alkena. Bertambah lagi rasa marah yang makin membuncah di dada. Sudah lelah rasanya menghadapi semuanya sendirian.


Dialog dengan Tuhan dan Jawaban InstanNya

Aku masih ingat sekali hari itu hari Jumat. Aku berada di stasiun Surabaya Kota, sedang menanti kereta untuk kembali ke perantauan. Mataku menatap kosong ke arah langit dengan segala kekecewaan yang sudah ingin meledak. Saat itulah, aku mulai berdialog dengan Tuhan, merintih dengan segala rasa sakit yang berkumpul jadi satu. Pasrah, hanya kepadaNya aku mencurahkan segala beban di hati.

Ya Allah, hamba sudah lelah dan kecewa berat dengan manusia. Berharap kepada mereka, rasanya sangat menyakitkan. Aku juga sudah tak tahu lagi mana yang datang duluan menyapaku, entah janur kuning atau bendera kuning. Jika memang janur kuning itu datang duluan kepadaku, tunjukkan, serta mudahkan jalan untuk bertemu dengan jodohku. Jika bendera kuning itu datang duluan kepadaku, izinkan aku istiqomah beribadah kepadamu agar aku bisa husnul khotimah saat bertemu dengan kematian (Doaku saat itu yang dikabulkan secara instan oleh Tuhan). 

Tepat setelah aku selesai berdialog dengan Tuhan, kereta datang, aku pun naik ke dalam kereta. Seperti biasa aku akan selalu menghadap ke jendela, menikmati pemandangan luar dari kaca jendela. Beberapa saat kemudian, ada pesan masuk ke dalam ponselku. Seseorang yang aku tahu, tapi tak terlalu kenal tiba-tiba bertanya apakah aku sudah ada yang melamar atau belum. 

Deg! Baru saja aku selesai berdoa dalam dialog monologku kepada Tuhan. Apakah ini jawabanNya? 

Badanku langsung terasa lemas, jari-jemariku turut gemetar saat memberikan jawaban kepada seseorang itu. Rasanya seperti dialog yang dijawab langsung oleh Allah. Siapa yang tak gemetar ketika rasanya Allah benar-benar dekat seperti jarak antara dahi dan sajadah saat sujud. MasyaAllah, Allahuakbar!

Aku pun memberikan jawaban netral dan meminta waktu untuk sholat istikharah dahulu selama seminggu sebelum melangkah lebih lanjut. Selama itu pula aku melarangnya untuk menghubungiku kalau tidak penting. Sebab aku sangat trauma dengan berbagai perbincangan via chat sebelum halal.


Sholat Istikharah, Hati-hati Memaknai Pertandanya

Sebelum sholat istikharah, aku berusaha menetralkan hati dan pikiran. Aku buang semua rasa dan harapan, agar hati benar-benar kosong, tak ada rasa condong kepada manusia. Selain itu aku meminta saran kepada beberapa temanku, termasuk temanku yang dari Bandung. Dia kembali mengingatkanku untuk tidak semudah itu percaya jika ada jawaban istikharah yang datang melalui mimpi. Bisa jadi itu setan yang menunggangi, agar manusia bisa salah mengartikan hasil sholat istikharah.

Lalu, yang benar bagaimana?

Sebagai gambaran bagaimana setan bisa amat sangat menyesatkan jiwa manusia yang sedang terluka, aku akan berbagi sedikit cerita tentang sholat istikharahku sepulang dari Bandung. Jadi, sepulang dari Bandung, posisi hati masih setengah terluka, aku langsung tancap gas sholat istikharah untuk meminta petunjuk apakah benar dia jodoh yang harus aku pertahankan?

Selepas sholat istikharah, aku memang selalu bermimpi tentang dia. Hanya saja, hati kecilku selalu berteriak bahwa bukan dia jodohku. Ada secuil perasaan gelisah yang aku rasakan ketika meyakini bahwa dia jodohku, meskipun setelah sholat istikharah wajahnya selalu nampak di mimpiku.

Nah, ternyata itu contoh penafsiran sholat istikharah yang kurang tepat. Harusnya ketika melakukan sholat istikharah, hati harus dalam keadaan netral dan tidak condong kepada siapa pun. Jawabannya pun tak melulu lewat mimpi. Bisa jadi jawabannya muncul lewat ketentraman hati. Saat Allah ridho', segala sesuatu akan dipermudah, semua jalan akan terbuka lebar, dan hati akan cenderung damai.

Setelah aku melakukan sholat istikharah selama beberapa hari, entah kenapa hatiku jadi damai. Aku pun mempersilakan orang ini untuk datang ke rumah dan mengutarakan maksudnya kepada ibu. Alhamdulillah ibu langsung menyuruh kami untuk datang menemui wali nikahku nanti, yaitu kakak laki-laki dari Alm. Bapak. Alhamdulillah lagi, Pakde setuju-setuju saja, dan tidak ragu untuk mengiyaka maksud baik lelaki ini.

Proses kami menuju pernikahan begitu cepat. Januari dia mengutarakan maksudnya, April kami lamaran, dan Juni kami pun melangsungkan pernikahan. Jujur, sampai sekarang aku masih tidak percaya jalan cerita cintaku bisa langsung sesingkat ini setelah mengalami banyak hal menyakitkan di tahun-tahun sebelumnya.

Oh iya, pasti banyak yang penasaran bagaimana nasib Alkuna, apakah dia lelaki yang tiba-tiba melamarku? Sayang sekali, lelaki yang melamarku bukan Alkuna yang sudah aku anggap Kakak sendiri. Beliau pun juga sudah menikah tahun lalu. Lelaki yang melamarku adalah lelaki asing yang aku pun hanya sebatas tahu namanya saja, tak kenal karakter maupun kebiasaannya. Aku hanya meyakini lelaki ini lewat sholat istikharah beserta petunjuknya yang aku lakukan terus, bahkan sampai di malam sebelum akad.


Happy Ending, Welcome to The Jungle Part 2

Siapa yang pas kuliah suka mengeluh saat tugas tiada akhir, lalu sesumbar, "duh, mending nikah aja lah daripada kuliah". Yakin, menikah adalah solusi dari tugas kuliah yang jumlahnya tak kenal basa-basi? Udah tau belum kalau menikah itu ibadah seumur hidup dengan orang yang sama? Udah paham juga belum kalau menikah itu tak sekadar suka sama suka? Lebih dari itu, menikah itu artinya menyatukan dua keluarga. Aku tekankan lagi, dua keluarga, ya, bukan cuma dua kelapa eh kepala.

Menikah memang happy ending dari cerita cinta, tapi kamu salah besar kalau berharap setelah menikah kehidupanmu akan selalu indah dan mudah. No. Tidak semudah itu, Senorita. Kalau kehidupan setelah menikah itu mudah, hadiahnya ya panci, bukan surga dari Allah.

Alhamdulillah, atas seizin Allah, aku menikah di usia 26 tahun dengan suamiku. Sudah cari jauh-jauh sampai ke kota lain, eh, ternyata jodohnya cuma beda kecamatan aja. Jodoh memang rahasia Allah yang tak bisa ditebak. Dalam kasus ceritaku memang benar-benar surprise banget proses bertemu dengan jodoh yang sebenarnya.

Setelah menikah, memang betul aku merasakan bahwa menikah itu bukan ending, tapi akan terus ongoing.  Alumni Kampus Perjuangan pasti paham banget makna ucapan "welcome to the jungle!". Nah, menurutku pribadi, kehidupan setelah menikah memang seperti itu adanya, penuh perjuangan sekaligus harapan.

8 komentar

8 komentar

Terimakasih sudah membaca sampai akhir :)
Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar.

Love,
Anggi
  • Ihat Azmi
    Ihat Azmi
    8 Februari 2022 pukul 09.37
    Masya Allah terharu bacanya Kak. Serasa diguyur air kembali setelah mebaca tulisan Kakak ini karena aku sedang ada di fase lelah karena bertemu dengan orang yang salah. Jadi yakin dan gak akan menyerah. Intinya yg bisa aku ambil dr pengalamannya Kakak ini kosongkan hati, buang semua rasa benco, dan berserah diri pada Allah. Jazakillah Kakak sudah menuliskan pengalaman yang berharga ini :)
    • Ihat Azmi
      ANGGITA RAMANI
      17 Februari 2022 pukul 06.54
      Tetap semangat, kak. InsyaAllah yakin Allah tahu kapan waktu yang tepat. Semoga cepat dipertemukan dengan yang baik menurut Nya Aamiin
    Reply
  • Ilma Purnomo (Mama Razin)
    Ilma Purnomo (Mama Razin)
    2 Februari 2022 pukul 18.08
    Masya Allah, ikut senyum-senyum sendiri pas baca ceritanya, mbak. Soalnya aku ngalamin hal yang samaa: dibuat berharap bertahun-tahun sama seorang laki-laki, malah tiba-tiba dilamar sama seseorang yang cuma sebatas kenal wkwk

    Semoga jadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah ya :)
    • Ilma Purnomo (Mama Razin)
      ANGGITA RAMANI
      17 Februari 2022 pukul 06.52
      Waah mirip mba jalan ceritanya hihi. Aamiin :))
    Reply
  • Monika Yulando Putri
    Monika Yulando Putri
    25 Januari 2022 pukul 15.11
    Mba Anggi, aku merinding banget baca doamu. Aku yakin banget Allah kasih kita hal terindah dan terbaik di titik tertinggi kepasrahan kita.

    Masya Allah banget cerita ketemu jodohnya, semoga samara selalu ya mba...
    • Monika Yulando Putri
      ANGGITA RAMANI
      29 Januari 2022 pukul 08.09
      Aamiin Allahuma Aamiin mba. MasyaAllah terimakasih doanya :))
    Reply
  • Linimasaade
    Linimasaade
    25 Januari 2022 pukul 13.09
    Serasa baca novel mbak. Ceritanya bikin terharu. Dengan Kun fayakun-Nya. Semua akan terjadi maka akan terjadi. Semoga menjadi keluarga sakinah mawadah warahmah ya mbak Aamiin. Dan menjadi cerita inspirasi dan motivasi jika kita menjemput jodoh dengan cara-Nya, maka ujungnya pun akan bikin takjub Allahu Akbar.
    • Linimasaade
      ANGGITA RAMANI
      29 Januari 2022 pukul 08.08
      Aamiin makasih mba doanya, semoga doa baik kembali ke yang mendoakan. Aamiin 😍
    Reply