Ia5K33hce05kVEU1UP8J8DLa01dvV8DSgOffubpV
Bookmark

Sholawat Burdah di Atas Laut, Tradisi Unik Nelayan Surabaya

Assalamu'alaikum, Surabaya!

"Orang Bira bisa sampai ke Madagaskar karena keyakinannya. Jangan berangkat sebelum dirimu mengetahui tujuan. Jangan berlayar sebelum kapalmu tiba."
 ― Puang Tuju, Kapten Perahu Layar Pinisi


Senja perlahan datang, membiaskan cahaya jingga pada permukaan laut yang mulai tampak tak tenang. Ombak mulai menyapu tiap badan perahu yang mencoba tetap gagah di tengah laut, diiringi lantunan sholawat burdah yang mengudara dengan lantang. Sholawat yang berisi syair indah puji - pujian terhadap Rasulullah SAW, karya pujangga islam ternama, Imam Al Bushiry. Do'a terdalam dari hati sang Nelayan pun turut berkumandang, berharap laut akan selalu menjadi teman dan selalu menenangkan. Kalau pun laut tak lagi menenangkan, para nelayan itu akan selalu setia menantang dengan keyakinan dan kepercayaan terhadap Tuhan Semesta Alam.

Laut tak hanya sekadar tempat untuk mencari rezeki bagi warga kampung nelayan Bulak Cumpat, Nambangan, Surabaya. Laut kadang bisa menenangkan layaknya teman, tapi juga bisa menebarkan resah melalui deru ombak yang meraung - raung. Para warga kampung nelayan pun menyikapi hal tersebut dengan melakukan tradisi unik, yaitu bersholawat burdah di laut lepas. Berbeda dengan acara "bersholawat" lainnya, sholawat burdah di kampung nelayan Surabaya dilakukan di atas laut menggunakan perahu nelayan jelang Ramadhan.

Para nelayan bisanya mengambil rute berlayar sambil bersholawat burdah dari Benteng Kedung Cowek - Jembatan Suroboyo - Kampung Nelayan Bulak Cumpat. Sholawat burdah di atas laut lepas biasanya dilakukan menjelang senja hingga terbenamnya matahari atau bisa juga dilakukan setelah matahari terbenam, tergantung kondisi laut. Satu yang pasti adalah lantunan sholawat burdah di sepanjang laut lepas akan selalu terdengar dari para nelayan tersebut. Mereka melantunkan sholawat burdah dengan lantang meskipun deru ombak menghadang.

Sholawat burdah yang dilakukan oleh warga nelayan Bulak Cumpat.
Burdah sendiri, menurut bahasa arab memiliki arti selimut atau mantel, bisa juga diartikan shifa atau kesembuhan. Banyak ulama mengatakan bahwa sholawat burdah memiliki manfaat bagi siapa yang membacanya (baca di sini). Warga kampung nelayan percaya dengan melantunkan sholawat burdah, bisa menjadi pelindung bagi mereka semua, berdasarkan filosofi arti kata burdah sebagai selimut atau mantel. Berangkat dari sini, para nelayan di Surabaya tak pernah gentar meskipun laut tempat mereka mengadu rezeki berubah jadi tak menenangkan. Maju menantang dengan perjuangan atau diam lalu mati perlahan tanpa perjuangan.

Terlepas dari arti kata burdah, isi sholawat burdah sebenarnya berisi syair indah puji - pujian terhadap Rasulullah SAW karya pujangga islam ternama di Mesir bernama Imam Al Bushiry. Keindahan syair dalam sholawat burdah, disebut - sebut tak akan ada yang bisa menandingi di dunia ini. Syair yang ditulis karena cinta Imam Al Bushiry terhadap Allah dan Rasul-Nya turut mengalirkan cinta juga bagi siapa pun yang membaca (contoh sholawat burdah). Sama seperti para nelayan yang juga mengekspresikan rasa cinta serta syukur kepada Allah dan Rasul-Nya melalui sholawat burdah. Mereka memiliki keyakinan yang kuat terhadap apa yang mereka cinta dan percaya dalam hidup ini, Tuhan Semesta Alam.

Pelaut dan nelayan yang hebat tak pernah lahir dari laut yang tenang.
Keyakinan yang mengakar pada jiwa nelayan di Surabaya hampir sama dengan keyakinan yang dipegang teguh oleh para pelaut Bira di Makassar. Orang Bira dengan perahu layar Pinisinya bisa sampai di Madagaskar karena mereka yakin dan percaya terhadap Tuhan Yang Menguasai Alam Semesta. Sama halnya dengan nelayan di Surabaya yang tak takut menghadapi laut ketika mencari rezeki karena rasa yakin dan percaya sekaligus cinta terhadap Tuhan, Sang Penguasa Semesta.

Laut, para pelaut dan para nelayan itu mengajarkan arti kata "percaya" dan "yakin" bahwa tak ada hidup yang selalu menenangkan. Ada kalanya ombak menyapu kehidupan dengan begitu dahsyat, menghancurkan apa pun yang ada di depan. Siapa yang bertahan akan terus menantang dan suatu saat akan menang dalam kenangan hidup yang menyenangkan. Siapa yang menyerah akan mati perlahan dalam kenangan hidup yang mengerikan. Pelaut dan nelayan yang hebat tak pernah lahir dari laut yang tenang, bukan?
2 komentar

2 komentar

Terimakasih sudah membaca sampai akhir :)
Mohon tidak meninggalkan link hidup di komentar.

Love,
Anggi
  • Unknown
    Unknown
    23 Januari 2019 pukul 11.36
    Keren Mbak ceritanya... Meskipun sudah 5 tahun lebih tinggal di Surabaya, saya baru tahu budaya nelayan yang seperti ini. Menarik!
    • Unknown
      ANGGITA RAMANI
      25 Januari 2019 pukul 05.43
      Saya juga tahu setelah masuk komunitas di Surabaya. Monggo nanti menjelang ramadhan pasti ada lagi :)
      Terimakasih sudah membaca
    Reply